Anggaran Rp2,7 triliun, sudah ditetapkan oleh Badan Anggaran
(Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat, untuk membangun gedung baru. Ya, gedung
baru. Beberapa pimpinan dewan menyebut tujuh ikon parlemen. Entah tujuh gedung,
entah tujuh menara, entahlah… tapi yang jelas ada gedung baru.
Polemik gedung baru, sebenarnya sudah terjadi pada dua
periode kepemimpinan DPR sebelumnya. Pada periode 2009-2014, bahkan DPR jadi
bahan bully nitizen hingga pengamat dan aktivis. Apalagi anggarannya sangat
fantastis, lebih dari Rp 1 triliun. Munculnya
angka Rp2,7 triliun, sebenarnya bagi saya pribadi sangat mengagetkan.
Hingga, beberapa hari lalu saya mencoba mengirimkan pesan
blackberry messenger kepada Ketua DPR 2009-2014, Marzuki Alie. Politisi Partai
Demokrat ini mengaku, memang DPR butuh gedung baru. Tapi situasi ekonomi
sekarang yang sedang terpuruk, perlu dipertimbangkan. Lalu dia mengaku,
anggaran gedung baru saat dia menjadi ketua DPR bisa ditekan hingga di bawahRp1 triliun. “Dulu sudah saya koreksi, biayanya bisa turun menjadi Rp900
miliar,” kata Marzuki.
Polemik terhadap DPR, bukan barang baru sebenarnya. Bahkan stigma
DPR tidak ada kerjaan, cuma ngerecokin eksekutif, dan atau habisin uang rakyat,
sudah sangat melekat. Hingga polemic soal gedung baru, sudah menjadi makanan
sehari-hari.
Beberapa polemik pembangunan di DPR, seperti pembangunan
ruang baru Banggar di gedung Nusantara II yang menelan dana Rp20 miliar. Sebenarnya
bukan gedung baru, tapi renovasi sebuah ruangan, yang terletak di sebelah
Komisi III dan Komisi I. Polemik ini mencuat dan mendapat perhatian, karena
saat itu beberapa satuan anggarannya seperti harga satu kursi, bahkan disebut
lebih dari Rp10 juta.
Saya masih ingat, itu awal 2012. Bahkan, kami sempat petak
umpat dengan pihak penyedia kursi-kursi itu, saat hendak membawa kembali ke
gudang mereka di kawasan Pamulang. Lewat jam 12 malam, mereka baru melakukan
aktivitasnya, setelah situasi lengang. Padahal, saat itu kami sengaja menunggu
di ruang pressroom hingga mereka melakukan aksi bongkar dari ruang baru Banggar
itu ke mobil box yang sudah disiapkan. Bahkan, Radio El Shinta sampai mengudara
secara live saat melaporkan evakuasi itu.
Kembali ke soal gedung baru DPR. Tidak both side rasanya
kalau tidak kita memaparkan dan melihat langsung, seperti apa kondisi gedung
itu sekarang. Benarkan dibutuhkan atau tidak? Subjektif saya, tidak akan
menggiring dan mendukung gedung baru. Tapi sedikit gambaran (mungkin kurang
lengkap).
Gedung yang tidak representative lagi sebenarnya, ada di
Gedung Nusantara I, yang berlantai 20 lebih. Di sana, adalah ruangan seluruh
fraksi dan 560 anggota dewan.
Untuk mengakses setiap lantai, lift adalah jalur yang mudah
dan tidak melelahkan. Ada tangga, tapi akan kewalahan untuk menggunakan,
apalagi dengan tujuan ke lantai yang tinggi.
Untuk lift umum, yakni digunakan oleh staf, karyawan, tamu, pengunjung
dan hingga wartawan, hanya tersedia dua lift dengan kapasitas yang terbatas.
Posisinya,
ada di ujung barat. Satu lagi sebenarnya untuk umum. Namun itu adalah lift
barang. Sehingga tak heran, ketika kita hendak naik dari lantai 1, sudah ada
barang-barang besar di lift itu, yang diangkut dari lantai dasar.
Ada lift khusus untuk anggota dewan. Ada empat, yakni dua di
sisi kiri dan dua di sisi kanan. Tidak sembarang orang yang bisa masuk
menggunakan lift itu. Dia disekat dengan pintu yang dijaga Pasukan Pengamanan
Dalam (Pamdal) DPR, sehingga dari lift umum kita tidak bisa masuk ke lift
anggota. Anggota juga masuk melalui pintu bagian depan, persis di depan pintu
masuk Gedung Nusantara I. Ruangan yang juga menyediakan beberapa sofa, tempat
sejumlah anggota dan tamunya terkadang berbincang, dijaga juga oleh Pamdal.
Dalam keadaan sepi, tentu tidak aka nada kesulitan naik ke
lift. Pasti akan cepat. Namun sangat berbeda, kalau itu dalam keadaan ramai. Apalgi
saat pagi hari, dan jam makan siang, serta jam pulang atau sore hari. Pengalaman
melakukan peliputan di DPR, bahkan antrian untuk masuk ke lift itu menjalar
hingga ke depan jalur lalulintas di gedung itu, saking banyaknya orang yang
hendak menggunakan lift.
Dengan kondisi seperti itu, tentu mobilitas menjadi
terganggu. Walau terkadang kami juga berpikir, siapa saja sih orang-orang ini
yang selalu menggunakan lift ini. Ada saja kepentingan mereka. Mungkin banyak
juga diantara mereka yang notabene adalah wartawan bodrex, atau mungkin yang
nyari-nyari proyek. Ini kisah nyata, sebab banyak juga anggota yang mengeluh
didatangi orang-orang seperti itu.
Tak jarang, wartawan bodrex contohnya
tertangkap dan diamankan karena mencoba untuk memeras anggota dan pegawai di
komisi-komisi dan fraksi. Karena kejadian semacam ini juga, banyak anggota yang
meminta masuk ke DPR diperketat.
Pernah suatu ketika, saat harus berburu dengan waktu dari
ruang paripurna DPR lalu harus secepat kilat ke lantai 12 salah satu fraksi. Paripurna
selesai sekitar jam 12 siang. Bergegas dengan tergesa-gesa menuju lift, karena
ada konfrensi pers yang harus diliput juga.
Sampai di lift, antrian menjalar sampai tak karuan. Ibarat saat
jam sibuk, antrian di halte bus TransJakarta, desak-desakan, harus antri dan
tentu panas dan penat. Belum lagi harus menunggu lift turun, yang saat itu baru
naik di lantai 4 dan masih terus naik hingga lantai 21. Lalu turun lagi
membutuhkan waktu lama, begitu seterusnya. Praktis, ada 30 menit untuk antri
hingga bisa masuk lift dan tiba di lokasi tujuan.
Pernah suatu ketika, keadaan hampir sama, dikejar waktu
karena buru-buru mengejar anggota yang sudah mau pulang dari ruang fraksinya di
lantai 3 gedung itu. Tiba di depan lift, antrian sangat padat. Akhirnya, jalur
tangga yang dipilih menuju lantai 3. Ya lumayan melelahkan, untuk seukuran
lembaga tinggi Negara yang perannya diatur jelas di system demokrasi kita,
yakni sebagai fungsi legislative.
Tiba di ruangan anggota, harus diakui memang sangat sempit. Pernah
bertemu dengan salah satu bendahara fraksi, legislator perempuan, untuk
kepentingan wawancara masalah politik dan partainya yang hendak Munas. Ruangannya,
ada di pojok. Dua meja depan pintu, diisi oleh dua pegawainya. Lalu, ada satu
meja lagi di sisi kanan pintu itu.
Sementara ruangan si legislator itu,
dibuatkan ruangan non permanen dan lengkap dengan pintu. Walau interior dan
hiasannya cukup nyaman, tapi ruangannya sempit. Meja dia dengan sofa tamu,
jaraknya hanya sekitar 1 meter lebih. Terasa terlihat sempit, karena beberapa
diisi lemari dan rak-rak buku.
Praktis yang ruangan sedikit lebih besar adalah ruangan ketua fraksi dan sekretarisnya. Lalu, ruangan untuk rapat termasuk untuk kegiatan konferensi pers, agak besar. Walau menjadi kecil kalau wartawan yang datang bejubel.
Dalam sebuah diskusi di Cikini pada Sabtu 22 Agustus 2015
lalu, legislator Partai Nasional Demokrat (NasDem) Akbar Faisal, mengaku gedung
mereka sudah tidak representative lagi. Jelasnya, ada lima staf ahli, lalu
ditambah dua staf pribadi. Tujuh orang ini, tidak muat ditampung di ruangan
kecil itu.
Maka ketika Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, mengatakan DPR
selama ini hampir tidak pernah membuat gedung baru, berbeda dengan
lembaga-lembaga lainnya, ya bisa dimaklumi juga. Walau masih perlu
diperdebatkan lagi. Misal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang membangun
gedung baru karena gedung yang ada di Jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta,
tidak bisa lagi menampung.
Bahkan, seorang anggota dewan yang sempat diperiksa
penyidik KPK, bercerita bahwa ruangan penyidikan sangat sempit, lebih besar
dari ruangan Bareskrim Mabes Polri. Lalu, di ujung ada sebuah mushola kecil,
yang juga digunakan untuk istrahat melepas penat para penyidik, dan digunakan
untuk menghirup sebatang rokok.
Menurut saya, bisa jadi alasan KPK dan DPR untuk membuat
gedung baru, sama. Karena tidak representative lagi dengan beban kerja dan SDM
yang makin banyak. Pernah suatu ketika, saya keluar dari Kantor Wakil Presiden
di sisi jalan Veteran, persis samping Gedung Mahkamah Agung.
Karena tidak
membawa motor, maka saya berjalan menuju Jalan Medan Merdeka ke arah Istiqlal. Memang,
ada sebuah gedung baru yang dibangun MA itu. Ini juga mungkin yang menjadi
pemicu Fahri bicara seperti itu.
Atau bahkan Ketua Banggar Ahmadi Noor Supit, yang mengatakan
lembaga-lembaga Negara lainnya sudah membangun gedung baru. Menurut Supit, yang
juga Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar, saatnya DPR yang membangun gedung baru.
Dia juga mengaku, gedung DPR itu rawan roboh kalau ribuanorang hilir mudik ke gedung itu. Walau terkadang asumsi ini, menurut saya tidak
realistis juga.
Di tengah polemik siapa yang lebih butuh, apakah anggota DPR
dengan asumsi di atas, atau rakyat yang memang masih banyak yang tertekan kehidupannya
karena masalah kemiskinan dan tekanan ekonomi, semua masih debatable. Kalau bicara
butuh, semua pasti bilang butuh. Tidak hanya orang miskin, bahkan orang paling
kaya sekalipun butuh.
Comments