Mencari nafkah di Ibukota Jakarta maupun sekitarnya, bukan
perkara mudah. Dengan sikap individualism yang tinggi, namun di bawah tekanan
ekonomi dan carut marutnya dunia transportasi di sini, kita tidak akan bisa
hidup hanya mengandalkan seorang diri.
Berada di kota ini, yang banyak orang bilang ‘Ibukota lebih
kejam daripada ibutiri’, memang terasa berat. Kerja bukan sekedar kerja, bukan
sekedar lapangan kerja, tapi yang paling harus dijaga adalah koneksi, hubungan sosial.
Bahkan, ada yang bilang, tidak perlu kerja formal cukup banyak koneksi, sudah bisa
mencari duit di Jakarta.
Itu semua karena kemajemukan di kota terpadat di Indonesia
ini. Namun, dengan kondisi Jakarta yang serba akut, terkadang waktu menjadi
sangat berharga. Entah itu waktu istrahat, maupun bersua dengan keluarga dan
kawan-kawan.
Sebagai lulusan Universitas Muhammadiyah Malang, yang
mencoba mengadu nasib di Jakarta, sadar betul akan situasi itu. Dengan kesamaan
‘idiologi’ saat kuliah, kami yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) Komisariat Renaissance FISIP, membangun hubungan kebersamaan (kalau dalam
trikompetensi dasar itu humanitas) antar alumni. Sama halnya, memperbaharui
yang lama. Apalagi, ternyata ada juga yang mengamalkan lagu mars IMM ‘Immawan
dan immawati… (diplintir menjadi immawan dapat immawati)’. Walau tidak
sekampus, setidaknya di kampus lain, hehehe…
Kebersamaan ini juga dibangun, disadari atau tidak, karena
pengalaman sejarah (cieee cieeee sejarah)… Ya, ketika kami masih menjadi kader
aktif, susah rasanya ketika hendak ke luar Malang, entah itu di Jakarta atau
tempat lainnya. Kami seolah asing. “Mau mampir ke tempat siapa kalau kita ke
sana,” begitu kira-kira yang kami pikirkan. Sehingga, pasca dari kampus, banyak
yang memilih pulang kampung.
Teringat sebuah kisah, saat itu ada seorang kader, dia
mantan Ketua Komisariat Renaissance dan pernah menjabat Presiden Mahasiswa UMM.
Sebut saja namanya IHM. Saat itu, saya baru bekerja beberapa bulan di Jakarta. Tapi
tinggal di daerah Depok, yang dekat Bogor. Praktis, jarak itu sangat jauh
dengan Jakarta, apalagi ditambah kemacetan. Biasa perjalanan saya tempuh dari
tempat tinggal saat itu menggunakan motor ke kantor Gubernur DKI, lebih dari
dua jam.
IHM ini datang ke Jakarta, hendak bekerja. Tapi, tidak ada
tempat menginap. Keluarga lumayan jauh. Otomatis, saya yang harus menjemputnya.
Namun karena cuaca hujan deras, lalu dalam keadaan sakit, sementara IHM datang
malam hari, maka niat untuk menjemput terkendala. Dengan terpaksa, (katanya sih)
dia terpaksa nginap di kos-kos yang banyak dihuni (maaf) pekerja seks
komersial.
Namun sedikit demi sedikit, sudah menemui ritme ibukota itu.
Walau belum mampu maksimal, setidaknya membangun relasi itu penting. So, mau
tahu kisah IHM ini saat sekarang? Nantikan kelanjutan ceritanya. Termasuk,
beberapa personil senior IMM Renaissance lainnya, yang akan dikupas secara
tajam setajam….
Berikut momen-moment alumni Renaissance di Jakarta:
Kiri ke kanan: Andy, Agus, Kurais, Ririn, Khikmawan lokasi di rumdin DPR Kalibata. menjamu Ririn dilanjut nonton AC Milan di GBK |
Andy, IP 2006 dengan gaya khasnya. Behind Khikmawan. Acara bukber di Kalibata |
Agus, Korry, dan Khikmawan dan si kecil Senja |
Para istri, (kiri ke kanan): Nia, Adhe, Korry |
Suami-suami shopping (kiri ke kanan): Agus, Ibnun, Khikmawan lokasi di Kalibata Mall |
Comments