Beberapa pekan ini, wacana soal negara harus meminta maaf terhadap kejadian masa lalu, terus dibahas.
Awalnya, pertengah September 2015, wacana pemaafan terhadap tragedi Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan pemberontakan G30SPKI, menggelinding menjadi wacana yang ramai dibicarakan, walau pemerintah secara tegas mengaku tidak ada pemikiran untuk minta maaf ke PKI (Baca: Jokowi: Tak Ada Pemikiran Minta Maaf Kepada PKI).
"Negara harus minta maaf ke korban PKI", mungkin begitu kira-kira isi pesan yang mencuat sehingga ramai diberitakan. Isunya sebenarnya, beriringan dengan keinginan pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi tragedi-tragedi masa lalu hingga peristiwa-peristiwa masa Reformasi seperti tragedi Semanggi, yang susah ditemukan buktinya.
Tapi sebenarnya, lagi-lagi kita juga berpikir, siapa yang berhak minta maaf? Merujuk apa yang dikatakan oleh Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, kedua belah pihak baik dari keluarga 'PKI' maupun negara, sama-sama menjadi korban (Baca: Kasus PKI, Alasan Negara Tak Mau Minta Maaf).
Isu ini juga semakin liar. Bahkan, beberapa agenda siluman tiba-tiba beredar dengan menyebut, Presiden Joko Widodo akan menghadiri agenda yang dilaksanakan oleh kelompok komunis di Gelora Bung Karno pada 30 September pagi. Hingga akhirnya, pihak Istana menyebut ini fitnah dan meminta Mabes Polri mengusut siapa pelaku. Kabar terakhir, sudah dideteksi pelakunya (Baca: Jokowi Tuntut Penyebar Isu Presiden Minta Maaf ke PKI).
Selang beberapa pekan ini, wacana maaf memaafkan oleh negara, kembali mencuat. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan yang juga Ketua MPR Ahmad Basarah, melontarkan wacana negara harus minta maaf ke Bung Karno (Baca: PDIP: Negara Harus Minta Maaf pada Soekarno dan Keluarganya).
Sebenarnya, bukan persoalan negara harus minta maaf atau tidak. Tapi, 'desakan' oleh elit partai yang kini menjadi partai penguasa yang merupakan partai utama pemerintah, membuat kita kembali berpikir. Siapa yang disasar PDIP dengan melontarkan desakan agar negara memintaa maaf ke Bung Karno? Siapa negara saat ini dalam konteks penguasa? Ya, jawaban tentunya adalah PDIP sebenarnya. Presiden Jokowi adalah kader PDIP, dan seharusnya memang sejalan dengan PDIP.
Kita juga harus mengingat kembali, apa yang diutarakan oleh Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, sesaat setelah merestui Jokowi sebagai calon presiden 2014, terkait petugas partai. Itu juga dilontarkan Megawati beberapa kali dalam forum resmi partai (Baca: Megawati: Tak Mau Disebut Petugas Partai, Keluaaar!).
Kira-kira intisari yang disampaikan Megawati soal petugas partai, adalah Jokowi yang diamanatkan maju sebagai capres (saat jelang Pilpres 2014), tetap tidak boleh melupakan bahwa dirinya adalah petugas partai. Memaknai itu, sebenarnya bisa dikatakan, apa yang diinginkan oleh partai, harus juga dijalankan oleh petugasnya. Kalau seluruh kader PDIP adalah petugas partai, Jokowi juga adalah kader PDIP sehingga harus menjalankan keinginan partai (Baca: PDIP: Jadi Petugas Partai Tidak Rendahkan Jokowi).
Maka sebenarnya, bagi saya, desakan PDIP agar negara meminta maaf ke Bung Karno adalah sebuah kode kalau bisa dibilang begitu, terhadap Presiden Jokowi.
Analisa pertama, Jokowi bukan petugas partai. Asumsinya, kalau PDIP punya keinginan agar negara meminta maaf terhadap Bung Karno, tanpa harus dipublikasikan dan diwacanakan ke publik, bisa langsung dilakukan. Presiden Jokowi bisa membuat aturan, apakah Peraturan Presiden (Perpres) atau lainnya, dengan menyebut 'Negara Meminta Maaf ke Bung Karno'. Habis perkara!
Mengutip pernyataan Ketum Partai Bulan Bintang yang juga pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra, dalam pesan blackberry massenger nya beberapa waktu lalu. Berikut kutipannya:
"Mau minta maaf atau tidak pada Bung Karno semuanya adalah kewenangan Pemerintah. Kalau ingin dilakukan silahkan dilakulan oleh Megawati (dulu waktu jadi Presiden) atau sekarang oleh Jokowi. Berwacana terus soal minta maaf ini mengesankan Pemerintah yg dikuasai PDIP ini tidak mengerti apa yang harus dilakukan sebagai Pemerintah. Sudah jadi partai berkuasa tapi masih merasa seperti berada di luar lingkaran kekuasaan. Presiden adalah decision maker, karena itu ambil saja keputusan dan berhentilah berwacana agar suatu masalah selesai dan selanjutnya fokus untuk menyelesaikan masalah lain yg dihadapi bangsa dan negara ini".
Analisa kedua, Jokowi dipagari oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan PDIP. Sehingga perlu bagi partai, untuk melempar wacana ke publik agar Jokowi mengerti keinginan partai.
Kita tengok isu-isu politik di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Terkesan memang, seperti saat pembentukan kabinet, apa yang diharapkan PDIP justru tidak sejalan dengan kabinet yang dibentuk. Bahkan, untuk posisi strategis PDIP malah tidak kebagian. Sebuah ironi bagi partai pemenang pemilu dan partai utama pengusung pemerintah, dimana kadernya sukses menjadi Presiden ke-7 setelah 10 tahun menjadi oposisi. Bahkan, sikap keras PDIP terhadap pemerintah berlanjut di DPR.
Bisa dimaknai, PDIP tetap menganggap Jokowi adalah petugas partai. Namun PDIP ditlikung di tengah jalan saat Jokowi menang Pilpres 2014. Sehingga, untuk menyampaikan pesan ke Jokowi, yakni dengan bersikap keras terhadap pemerintah, layaknya mereka masih menjadi partai oposisi seperti 10 tahun yang PDIP jalani.
Bahkan seorang anggota DPR pernah berucap, PDIP yang justru keras terhadap pemerintah. Kekhawatiran kalau partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP) yang akan menjegal Jokowi di parlemen, malah terbantahkan.
Maka dari itu, bagi saya desakan-desakan agar negara minta maaf ke Bung Karno, bukan hanya dilihat dari substansi materinya. Tapi ada persoalan politik lain, yang terjadi antara PDIP, pemerintah, dan Jokowi sendiri yang notabene dikatakan sebagai petugas partai. [opini pribadi]
Awalnya, pertengah September 2015, wacana pemaafan terhadap tragedi Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan pemberontakan G30SPKI, menggelinding menjadi wacana yang ramai dibicarakan, walau pemerintah secara tegas mengaku tidak ada pemikiran untuk minta maaf ke PKI (Baca: Jokowi: Tak Ada Pemikiran Minta Maaf Kepada PKI).
"Negara harus minta maaf ke korban PKI", mungkin begitu kira-kira isi pesan yang mencuat sehingga ramai diberitakan. Isunya sebenarnya, beriringan dengan keinginan pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi tragedi-tragedi masa lalu hingga peristiwa-peristiwa masa Reformasi seperti tragedi Semanggi, yang susah ditemukan buktinya.
Tapi sebenarnya, lagi-lagi kita juga berpikir, siapa yang berhak minta maaf? Merujuk apa yang dikatakan oleh Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, kedua belah pihak baik dari keluarga 'PKI' maupun negara, sama-sama menjadi korban (Baca: Kasus PKI, Alasan Negara Tak Mau Minta Maaf).
Isu ini juga semakin liar. Bahkan, beberapa agenda siluman tiba-tiba beredar dengan menyebut, Presiden Joko Widodo akan menghadiri agenda yang dilaksanakan oleh kelompok komunis di Gelora Bung Karno pada 30 September pagi. Hingga akhirnya, pihak Istana menyebut ini fitnah dan meminta Mabes Polri mengusut siapa pelaku. Kabar terakhir, sudah dideteksi pelakunya (Baca: Jokowi Tuntut Penyebar Isu Presiden Minta Maaf ke PKI).
Selang beberapa pekan ini, wacana maaf memaafkan oleh negara, kembali mencuat. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan yang juga Ketua MPR Ahmad Basarah, melontarkan wacana negara harus minta maaf ke Bung Karno (Baca: PDIP: Negara Harus Minta Maaf pada Soekarno dan Keluarganya).
Sebenarnya, bukan persoalan negara harus minta maaf atau tidak. Tapi, 'desakan' oleh elit partai yang kini menjadi partai penguasa yang merupakan partai utama pemerintah, membuat kita kembali berpikir. Siapa yang disasar PDIP dengan melontarkan desakan agar negara memintaa maaf ke Bung Karno? Siapa negara saat ini dalam konteks penguasa? Ya, jawaban tentunya adalah PDIP sebenarnya. Presiden Jokowi adalah kader PDIP, dan seharusnya memang sejalan dengan PDIP.
Kita juga harus mengingat kembali, apa yang diutarakan oleh Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, sesaat setelah merestui Jokowi sebagai calon presiden 2014, terkait petugas partai. Itu juga dilontarkan Megawati beberapa kali dalam forum resmi partai (Baca: Megawati: Tak Mau Disebut Petugas Partai, Keluaaar!).
Kira-kira intisari yang disampaikan Megawati soal petugas partai, adalah Jokowi yang diamanatkan maju sebagai capres (saat jelang Pilpres 2014), tetap tidak boleh melupakan bahwa dirinya adalah petugas partai. Memaknai itu, sebenarnya bisa dikatakan, apa yang diinginkan oleh partai, harus juga dijalankan oleh petugasnya. Kalau seluruh kader PDIP adalah petugas partai, Jokowi juga adalah kader PDIP sehingga harus menjalankan keinginan partai (Baca: PDIP: Jadi Petugas Partai Tidak Rendahkan Jokowi).
Maka sebenarnya, bagi saya, desakan PDIP agar negara meminta maaf ke Bung Karno adalah sebuah kode kalau bisa dibilang begitu, terhadap Presiden Jokowi.
Analisa pertama, Jokowi bukan petugas partai. Asumsinya, kalau PDIP punya keinginan agar negara meminta maaf terhadap Bung Karno, tanpa harus dipublikasikan dan diwacanakan ke publik, bisa langsung dilakukan. Presiden Jokowi bisa membuat aturan, apakah Peraturan Presiden (Perpres) atau lainnya, dengan menyebut 'Negara Meminta Maaf ke Bung Karno'. Habis perkara!
Mengutip pernyataan Ketum Partai Bulan Bintang yang juga pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra, dalam pesan blackberry massenger nya beberapa waktu lalu. Berikut kutipannya:
"Mau minta maaf atau tidak pada Bung Karno semuanya adalah kewenangan Pemerintah. Kalau ingin dilakukan silahkan dilakulan oleh Megawati (dulu waktu jadi Presiden) atau sekarang oleh Jokowi. Berwacana terus soal minta maaf ini mengesankan Pemerintah yg dikuasai PDIP ini tidak mengerti apa yang harus dilakukan sebagai Pemerintah. Sudah jadi partai berkuasa tapi masih merasa seperti berada di luar lingkaran kekuasaan. Presiden adalah decision maker, karena itu ambil saja keputusan dan berhentilah berwacana agar suatu masalah selesai dan selanjutnya fokus untuk menyelesaikan masalah lain yg dihadapi bangsa dan negara ini".
Analisa kedua, Jokowi dipagari oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan PDIP. Sehingga perlu bagi partai, untuk melempar wacana ke publik agar Jokowi mengerti keinginan partai.
Kita tengok isu-isu politik di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Terkesan memang, seperti saat pembentukan kabinet, apa yang diharapkan PDIP justru tidak sejalan dengan kabinet yang dibentuk. Bahkan, untuk posisi strategis PDIP malah tidak kebagian. Sebuah ironi bagi partai pemenang pemilu dan partai utama pengusung pemerintah, dimana kadernya sukses menjadi Presiden ke-7 setelah 10 tahun menjadi oposisi. Bahkan, sikap keras PDIP terhadap pemerintah berlanjut di DPR.
Bisa dimaknai, PDIP tetap menganggap Jokowi adalah petugas partai. Namun PDIP ditlikung di tengah jalan saat Jokowi menang Pilpres 2014. Sehingga, untuk menyampaikan pesan ke Jokowi, yakni dengan bersikap keras terhadap pemerintah, layaknya mereka masih menjadi partai oposisi seperti 10 tahun yang PDIP jalani.
Bahkan seorang anggota DPR pernah berucap, PDIP yang justru keras terhadap pemerintah. Kekhawatiran kalau partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP) yang akan menjegal Jokowi di parlemen, malah terbantahkan.
Maka dari itu, bagi saya desakan-desakan agar negara minta maaf ke Bung Karno, bukan hanya dilihat dari substansi materinya. Tapi ada persoalan politik lain, yang terjadi antara PDIP, pemerintah, dan Jokowi sendiri yang notabene dikatakan sebagai petugas partai. [opini pribadi]
Comments