Momentum 20 Oktober 2014, diawali dengan pergantian kepemimpinan tingkat nasional. Joko Widodo dan Jusuf Kalla, diambil sumpahnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk menjabat Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun ke depan.
Dari kompleks MPR/DPR/DPD di Gatot Subroto Jakarta Selatan, Jokowi dan Jusuf Kalla bertolak menuju Istana Merdeka, tempat mereka akan bekerja selama lima tahun.
Keduanya diarak bak raja yang pulang setelah memenangkan peperangan. Ribuan rakyat, ikut iring-iringan dengan mobil bak terbuka itu. Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, lumpuh total dengan perayaan yang banyak orang sebut pesta rakyat ini.
Bahkan, sampai keduanya berjalan kaki jelang memasuki Istana Merdeka. Istana Merdeka, yang berada di Jalan Medan Merdeka Utara itu juga dipenuhi lautan manusia, menyambut pemimpin baru mereka Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Kala itu, saya masih bekerja untuk media yang lama, inilahdotcom. Kami sudah berada di dalam, tepatnya sisi kanan halaman Istana Merdeka, persis di sebelah Masjid Baiturrahim.
Pemandangan kontradiktif selama beberapa tahun bertugas era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, terasa hari itu. Istana bak pasar malam yang didatangi mungkin puluhan ribu rakyatnya. Ibarat kuda yang lama dikandangi, lalu dilepas begitu saja.
Selain para wartawan yang biasa meliput di Istana, nampak juga terlihat sejumlah relawan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Ada Fajrul Rahman, Yunarto Wijaya, Ulin Yusron, dan banyak lagi dengan seragam baju putih.
Pintu depan Istana Merdeka di sisi pojok utara, ratusan warga terlihat antri untuk masuk. Penjagaan oleh Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres, tetap dilakukan. Dan para warga itu harus melalui metal detector.
Di sudut utara Istana Merdeka, ratusan warga yang sudah masuk nampak bersantai-santai di bawah rindangnya pepohonan tua yang sudah ada sejak era VOC itu. Hingga kini masih dilestarikan, dengan menambah penopang pada bagian rantingnya agar tidak patah. Ibarat rekreasi di taman yang ditumbuhi rumput hijau nan lebat, itulah suasana saat itu.
Sejumlah massa juga, masih terus berorasi di depan Istana. Dengan speaker keras di atas mobil bak terbuka, mereka meminta agar pintu depan Istana dibuka untuk mereka masuk. Hanya, tetap ditahan oleh Paspampres yang berjaga di situ.
Presiden Jokowi dan Wakil Jusuf Kalla, tiba. Mereka berjalan kaki, memasuki pintu gerbang depan Istana, yang sudah dipadati warga di sisi kiri dan kanan. Segala macam gadget terangkat untuk mengabadikan moment itu. Terutama kameramen dan fotografer.
Langkah cepat Jokowi, seolah ingin segera menapaki tangga-tangga Istana Merdeka, tempat dulu Bung Karno juga mengumpulkan lautan massa dan berpidato. Sementara di belakangnya, Wapres Jusuf Kalla harus mengimbangi langkah cepat Jokowi, walau umur beliau tidak muda lagi.
Kopiah hitam Pak JK -biasa Jusuf Kalla disapa- bahkan sempat dilepas. Mungkin karena terlalu panas dan lelah dalam perjalanan dari MPR ke Istana Merdeka.
Pak JK, menjadi Wakil Presiden RI sudah dua kali. Pertama bersama SBY pada 2004-2009. Pada Pilpres 2009, Pak JK mencoba peruntungan 'naik kelas' menjadi RI-1 (sebutan untuk Presiden), tapi kalah dari SBY yang menggandeng mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Hingga akhirnya pada Pilpres 2014, Pak JK maju mendampingi Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta sejak 2012.
Beragam aktivitas di Istana, setelah Jokowi 'meruntuhkan keangkeran' bangunan bersejarah itu. Mulai dari yang hanya piknik dan berfoto, hingga yang benar-benar ingin ketemu Jokowi, sang idola baru.
Paspampres, yang jumlahnya tidak banyak, terlihat kewalahan mengatur massa itu. Apalagi, nampaknya belum ada SOP yang jelas soal pengamanan Istana. Itu juga terlihat, beberapa hari setelah Jokowi dilantik, saat menghadirkan sejumlah orang yang menjadi calon menteri. Kami, para jurnalis, bebas lari ke kiri dan ke kanan walau ada Paspampres. Suatu peristiwa yang tidak akan bisa terlihat pada periode sebelumnya, setidaknya beberapa tahun terakhir yang saya lihat saat bertugas di Istana.
Saya pernah merasakan hal serupa, pada 2012. Saat Jokowi dan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kantor Gubernur di Balaikota, di mana tempat Gubernur berkantor, adalah kawasan steril. Saat Gubernur Fauzi Bowo atau Foke, saya sempat bertugas meliput walau hanya lebih kurang satu tahun. Tapi, Balaikota saat itu bukan tempat yang bisa sembarang orang duduk, selonjoran atau apapun, termasuk wartawan. Kami pun biasanya berada di situ, saat menunggu gubernur rapat atau ada agenda di Balai Agung, yang lokasinya di atas.
Tapi saat Jokowi jadi gubernur, itu semua berbalik 360 derajat. Masyarakat tumpah ruah. Saya mengibaratkan waktu itu, aula Balaikota DKI seperti tempat pengungsian. Ada yang duduk-duduk, ada yang asik melihat koleksi klasik, ada yang foto-foto, bahkan ada yang asyik tidur-tiduran di karpet yang kelihatannya mahal itu.
Itu juga terlihat di pelataran. Ramai oleh warga, yang menganggap Jokowi adalah pilihan rakyat (ya memang semua dipilih rakyat sih) sehingga tidak ada sekat dengan mereka.
Baik lah, kita kembali ke peristiwa hari pertama Jokowi di Istana. Di pintu bagian utara, puluhan orang terlihat berjejer antri untuk masuk ke dalam ruang Credential. Ruangan ini, biasanya digunakan untuk acara-acara sakral kenegaraan, seperti menerima dubes negara sahabat, hingga penyampaian keterangan pers bersama Presiden atau Perdana Menteri negara lain yang berkunjung ke Indonesia.
Tapi, hari itu 20 Oktober 2014, keangkeran itu sirna. Rakyat berbondong-bondong masuk, walau saya sempat bertanya ke Paspampres kalau Jokowi tidak ada di situ. Tetapi di ruang lain dari Istana Merdeka.
Beberapa saat kemudian, dilakukan upacara semacam 'pisah sambut' atau mungkin dinamakan 'serah terima jabatan (sertijab)', dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi. Hadir Ibu Ani Yudhoyono, dan sang Ibu Negara baru Iriana Joko Widodo.
SBY berpesan kepada jajaran Istana, agar membantu Presiden ke-7 RI Jokowi dalam menjalankan tugas. Sama seperti saat 10 tahun membantu dirinya.
Keluar Istana Merdeka, SBY didampingi Jokowi. Bukan perkara sulit menuruni anak tangga. Para pengunjung memadati, berdesak-desakan dengan halauan Paspampres yang menjaga dua orang penting ini. Bagi Jokowi, mungkin ini hal biasa baginya. Selama menjadi Gubernur DKI, aksi yang katanya blusukan itu, selalu dikerumuni warga.
Ratusan warga, membentuk jalan untuk keduanya menuju iring-iringan yang siap mengantar SBY setelah Jokowi resmi menjadi Presiden RI ke-7.
Saya dan seorang teman yang juga menjadi jurnalis saat Presiden SBY, melihat Istana Merdeka saat itu hanya geleng-geleng. Jeans, sandal jepit, baju kaos, yang dulu tidak akan pernah dilihat di sekitar Istana Merdeka dan Istana Negara (Istana Merdeka di depan, Istana Negara di belakang), saat itu menjamur.
Kami ikut merayakan kebebasan ini. Ikut menikmati momen-momen 'hilangnya keangkeran Istana', mumpung sekarang terjadi, entah ke depannya. "Sambil jaga-jaga demonstran di depan nekat dan buat rusuh," kata teman, yang memang kami mengawasi sekelompok relawan yang berorasi di mobil pick-up tapi dilarang masuk oleh Paspampres itu.
Ya, semua memang bisa berubah. Setiap pemimpin punya cara masing-masing dalam menjadi pemimpin.
*....Bersambung dengan kisah lainnya ya
Dari kompleks MPR/DPR/DPD di Gatot Subroto Jakarta Selatan, Jokowi dan Jusuf Kalla bertolak menuju Istana Merdeka, tempat mereka akan bekerja selama lima tahun.
Keduanya diarak bak raja yang pulang setelah memenangkan peperangan. Ribuan rakyat, ikut iring-iringan dengan mobil bak terbuka itu. Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, lumpuh total dengan perayaan yang banyak orang sebut pesta rakyat ini.
Bahkan, sampai keduanya berjalan kaki jelang memasuki Istana Merdeka. Istana Merdeka, yang berada di Jalan Medan Merdeka Utara itu juga dipenuhi lautan manusia, menyambut pemimpin baru mereka Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Halaman depan Istana Merdeka, dipenuhi warga 20 Oktober 2014 (Dok pribadi) |
Kala itu, saya masih bekerja untuk media yang lama, inilahdotcom. Kami sudah berada di dalam, tepatnya sisi kanan halaman Istana Merdeka, persis di sebelah Masjid Baiturrahim.
Pemandangan kontradiktif selama beberapa tahun bertugas era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, terasa hari itu. Istana bak pasar malam yang didatangi mungkin puluhan ribu rakyatnya. Ibarat kuda yang lama dikandangi, lalu dilepas begitu saja.
Selain para wartawan yang biasa meliput di Istana, nampak juga terlihat sejumlah relawan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Ada Fajrul Rahman, Yunarto Wijaya, Ulin Yusron, dan banyak lagi dengan seragam baju putih.
Pintu depan Istana Merdeka di sisi pojok utara, ratusan warga terlihat antri untuk masuk. Penjagaan oleh Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres, tetap dilakukan. Dan para warga itu harus melalui metal detector.
Di sudut utara Istana Merdeka, ratusan warga yang sudah masuk nampak bersantai-santai di bawah rindangnya pepohonan tua yang sudah ada sejak era VOC itu. Hingga kini masih dilestarikan, dengan menambah penopang pada bagian rantingnya agar tidak patah. Ibarat rekreasi di taman yang ditumbuhi rumput hijau nan lebat, itulah suasana saat itu.
Sejumlah massa juga, masih terus berorasi di depan Istana. Dengan speaker keras di atas mobil bak terbuka, mereka meminta agar pintu depan Istana dibuka untuk mereka masuk. Hanya, tetap ditahan oleh Paspampres yang berjaga di situ.
Foto diambil dari tangga depan Istana Merdeka yang menghadap ke jalan raya (dok pribadi) |
Presiden Jokowi dan Wakil Jusuf Kalla, tiba. Mereka berjalan kaki, memasuki pintu gerbang depan Istana, yang sudah dipadati warga di sisi kiri dan kanan. Segala macam gadget terangkat untuk mengabadikan moment itu. Terutama kameramen dan fotografer.
Langkah cepat Jokowi, seolah ingin segera menapaki tangga-tangga Istana Merdeka, tempat dulu Bung Karno juga mengumpulkan lautan massa dan berpidato. Sementara di belakangnya, Wapres Jusuf Kalla harus mengimbangi langkah cepat Jokowi, walau umur beliau tidak muda lagi.
Kopiah hitam Pak JK -biasa Jusuf Kalla disapa- bahkan sempat dilepas. Mungkin karena terlalu panas dan lelah dalam perjalanan dari MPR ke Istana Merdeka.
Pak JK, menjadi Wakil Presiden RI sudah dua kali. Pertama bersama SBY pada 2004-2009. Pada Pilpres 2009, Pak JK mencoba peruntungan 'naik kelas' menjadi RI-1 (sebutan untuk Presiden), tapi kalah dari SBY yang menggandeng mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Hingga akhirnya pada Pilpres 2014, Pak JK maju mendampingi Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta sejak 2012.
Beragam aktivitas di Istana, setelah Jokowi 'meruntuhkan keangkeran' bangunan bersejarah itu. Mulai dari yang hanya piknik dan berfoto, hingga yang benar-benar ingin ketemu Jokowi, sang idola baru.
Paspampres, yang jumlahnya tidak banyak, terlihat kewalahan mengatur massa itu. Apalagi, nampaknya belum ada SOP yang jelas soal pengamanan Istana. Itu juga terlihat, beberapa hari setelah Jokowi dilantik, saat menghadirkan sejumlah orang yang menjadi calon menteri. Kami, para jurnalis, bebas lari ke kiri dan ke kanan walau ada Paspampres. Suatu peristiwa yang tidak akan bisa terlihat pada periode sebelumnya, setidaknya beberapa tahun terakhir yang saya lihat saat bertugas di Istana.
Saya pernah merasakan hal serupa, pada 2012. Saat Jokowi dan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kantor Gubernur di Balaikota, di mana tempat Gubernur berkantor, adalah kawasan steril. Saat Gubernur Fauzi Bowo atau Foke, saya sempat bertugas meliput walau hanya lebih kurang satu tahun. Tapi, Balaikota saat itu bukan tempat yang bisa sembarang orang duduk, selonjoran atau apapun, termasuk wartawan. Kami pun biasanya berada di situ, saat menunggu gubernur rapat atau ada agenda di Balai Agung, yang lokasinya di atas.
Tapi saat Jokowi jadi gubernur, itu semua berbalik 360 derajat. Masyarakat tumpah ruah. Saya mengibaratkan waktu itu, aula Balaikota DKI seperti tempat pengungsian. Ada yang duduk-duduk, ada yang asik melihat koleksi klasik, ada yang foto-foto, bahkan ada yang asyik tidur-tiduran di karpet yang kelihatannya mahal itu.
Itu juga terlihat di pelataran. Ramai oleh warga, yang menganggap Jokowi adalah pilihan rakyat (ya memang semua dipilih rakyat sih) sehingga tidak ada sekat dengan mereka.
Baik lah, kita kembali ke peristiwa hari pertama Jokowi di Istana. Di pintu bagian utara, puluhan orang terlihat berjejer antri untuk masuk ke dalam ruang Credential. Ruangan ini, biasanya digunakan untuk acara-acara sakral kenegaraan, seperti menerima dubes negara sahabat, hingga penyampaian keterangan pers bersama Presiden atau Perdana Menteri negara lain yang berkunjung ke Indonesia.
Seorang bule ikut antri masuk Credential Room ketemu Jokowi (dok pribadi) |
Tapi, hari itu 20 Oktober 2014, keangkeran itu sirna. Rakyat berbondong-bondong masuk, walau saya sempat bertanya ke Paspampres kalau Jokowi tidak ada di situ. Tetapi di ruang lain dari Istana Merdeka.
Beberapa saat kemudian, dilakukan upacara semacam 'pisah sambut' atau mungkin dinamakan 'serah terima jabatan (sertijab)', dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi. Hadir Ibu Ani Yudhoyono, dan sang Ibu Negara baru Iriana Joko Widodo.
SBY berpesan kepada jajaran Istana, agar membantu Presiden ke-7 RI Jokowi dalam menjalankan tugas. Sama seperti saat 10 tahun membantu dirinya.
Keluar Istana Merdeka, SBY didampingi Jokowi. Bukan perkara sulit menuruni anak tangga. Para pengunjung memadati, berdesak-desakan dengan halauan Paspampres yang menjaga dua orang penting ini. Bagi Jokowi, mungkin ini hal biasa baginya. Selama menjadi Gubernur DKI, aksi yang katanya blusukan itu, selalu dikerumuni warga.
Ratusan warga, membentuk jalan untuk keduanya menuju iring-iringan yang siap mengantar SBY setelah Jokowi resmi menjadi Presiden RI ke-7.
Jokowi menyalami warga saat mengantar SBY ke mobil (dok pribadi) |
Tampak SBY ikut menyalami warga, saat turun dari tangga Istana Merdeka (dok pribadi) |
Diambil dari bawah: Warga mengerubuti tangga Istana Merdeka untuk menyalami SBY dan Jokowi (dok pribadi) |
Dari Atas: kerumunan warga ingin menyalami SBY dan Jokowi (dok pribadi) |
Saya dan seorang teman yang juga menjadi jurnalis saat Presiden SBY, melihat Istana Merdeka saat itu hanya geleng-geleng. Jeans, sandal jepit, baju kaos, yang dulu tidak akan pernah dilihat di sekitar Istana Merdeka dan Istana Negara (Istana Merdeka di depan, Istana Negara di belakang), saat itu menjamur.
Kami ikut merayakan kebebasan ini. Ikut menikmati momen-momen 'hilangnya keangkeran Istana', mumpung sekarang terjadi, entah ke depannya. "Sambil jaga-jaga demonstran di depan nekat dan buat rusuh," kata teman, yang memang kami mengawasi sekelompok relawan yang berorasi di mobil pick-up tapi dilarang masuk oleh Paspampres itu.
Ya, semua memang bisa berubah. Setiap pemimpin punya cara masing-masing dalam menjadi pemimpin.
*....Bersambung dengan kisah lainnya ya
Comments