#firibook - Seorang kawan lama, teman kecil saat SMP di kampung Akhyar Anis menulis status di akun FB nya yang mengklarifikasi asal dan usul dari dua istri sosok (yang disebut teroris oleh aparat keamanan) Santoso dan Basri.
Kalau bukan karena status kawan yang telah menjadi kepala penyuluh pertanian di kecamatan kami tersebut, rasanya saya tak terlalu peduli dengan hiruk pikuk pemberitaan soal teroris.
Kawan yang tergolong pejabat "muspida" di tingkat kecamatan tersebut menuturkan bahwa DUA ISTRI TERDUGA TERORIS ITU SAUDARA KAMI/KITA DARI WORO DAN CAMPA. Woro dan Campa merupakan dua desa di sudut kecamatan kami. Desa yang berada di ujung jalan yang melewati Desa saya.
Duh... ingin bertutur panjang tentang kampung dengan panorama khas sebuah pedesaan ini.
Bahwa kata Akhyar Anis, JUMIATUN MUSLIMATUN/UMI DELIMA istri terduga teroris Almarhum Santoso perempuan dari desa Campa Kecamatan Madapangga, sekampung sekaligus kerabat dekat almarhum ayahnya
"Dan NURMI USMAN istri terduga teroris BASRI adalah saudara kami juga, ibunya asli Desa Woro, sedangkan ayahnya asal Desa Dena Kecamatan Madapangga, sebelum menikah dengan Basri, Nurmi tingal bersama ibu dan saudara-saudaranya di Dena." urainya.
Nah.... Desa Dena merupakan asal saya, desa tempat saya dilahirkan tanah tumpah darah. Kemudian Nurmi adalah anak dari suami kedua tante saya Kk Yo... Usman bapak dari Nurmi kami menyapanya dengan Moa Woro.
Nurmi kakak kelas saya di SMP pembawaan cenderung pendiam dengan rambut hitam panjang berkulit hitam manis.
Perawakan Nurmi merupakan sosok fantasi kami para bocah saat itu yang baru tumbuh hormon kejantanan. Kecantikan khas gadis desalah... begitu ringkasnya.
Uwalaaa... terbayang kebiasaan kecil saya main dan mandi-mandi di sungai depan rumah Nurmi. Ele gantu namanya. Lebih seru mandi saat banjir. Rumahnya orang tua Nurmi tempat persinggahan kami. Kakaknya yang kelola bengkel tempat gank sepeda saya (mone wera Boy Sila, Farid habe si mensent dll) memperbaiki sepeda BMX kami.
Mengetahui persis bahwa istri para syuhada Poso itu orang sekampung, tetangga dan masih ada hubungan kekerabatan dengan saya, saya spontan berkata "Oh pantas... " sergahku.
Pantas betapa sabarnya para wanita ini bergirlya tahunan mendampingi suami mereka di hutan Poso. Ya... tulisan ini ingin bertutur seputar karakter perempuan Bima (siwe mbojo) bukan soal Santoso dan jaringannya.
Ini juga termotivasi oleh pertanyaan redaktur ahli Harian Amanah, ust Rappung Samuddin kepada seorang reporter saya, "Kenapa jauh-jauh balik ke Bima untuk menikah dengan perempuan di sana..?"
Lalu dengan sigap saya membantu menjawabnya, perempuan Bima itu enak untuk diajak menderita. Mereka ... ya kami orang Bima terbiasa survivel. Bisa bertahan hidup dengan segala keadaan kesulitan hidup.
Kami cukup menanam pohon Kelor di halaman gubuk maka kami akan hidup. Tak perlu ikan dengan segala macam masakan atau lauk yang menyemarakkan menu santapan. Cukup semangkuk sayur bening daun kelor maka nasi sebakul akan tandas...
Wilayah Bima dengan sedikit curah hujan sedikit lebih tandus dan membuat terbatas sumber daya alam dimiliki. Maka keterbatasan ini telah melatih perempuan Bima untuk bisa tetap nyaman hidup dan mengurus keluarga.
Ah... beralasan juga kenapa Santoso dan kelompoknya bisa nyaman hidup bertahun2 ditengah gempuran dan kejaran aparat keamanan. Ternyata ada perempuan-perempuan yang melayani dengan keahlian hidup dengan segala keterbatasan.
Tentunya selain karena militansi dan doktrin yang mereka pahami.
Ya... itulah siwe mbojo dengan kemandirian dan keahlian survivel.(Firmansyah/fir)
*Penulis adalah Pimpinan Redaksi Koran Amanah
Comments