Sehari jelang pilkada serentak 15 Februari 2017, tentu menjadi momentum bagi media untuk mengulas dalam-dalam soal pemilihan kepala daerah yang digelar sekali dalam lima tahun.
Tentu kami sebagai wartawan Istana Kepresidenan, yang sehari-hari meliput aktivitas dan melakukan wawancara dengan orang nomor satu di Indonesia itu, statemen dari Presiden menjadi sangat penting.
Selasa 14 Oktober 2017, agenda Presiden Joko Widodo adalah melepas lima ribu matrik ton beras ke Sri Lanka. Bantuan itu, dalam rangka kemanusiaan. Presiden memutuskan memberi bantuan itu, setelah menerima permintaan langsung dari Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena.
Dua komuter -- mobil yang disiapkan Biro Pers Istana -- sudah siap menunggu kami, rombongan wartawan, yang ingin menuju lokasi acara. Letaknya, ada di pergudangan Bulog di kawasan Sunter Jakarta Utara. Pukul 07.00 WIB pagi, dijadwalkan komuter ini sudah berangkat.
Tentu, wartawan yang rumahnya jauh seperti saya di Depok, harus bertolak dari rumah pagi-pagi buta. Saat itu, saya memilih berangkat sebelum Sholat Subuh, sekitar pukul 04.30 WIB sudah berada di kereta KRL dari Stasiun Citayam.
Beruntung, mengingat sepanjang jalan hujan turun dengan derasnya. Hingga tiba di Stasiun Manggarai, menyempatkan sholat subuh dan menunggu hujan reda. Pukul 06.30 WIB saya sudah tiba di bioskop Istana. Bioskop adalah sebutan untuk pressroom. Karena dulu, ruangan yang kini digunakan untuk pers itu, adalah tempat Presiden Soeharto menonton.
Sebenarnya sedikit lelah harus berangkat sepagi ini. Cuaca juga tidak mendukung, sedikit kurang enak badan. Namun momentumnya tepat. Karena, sejak Jokowi jadi Presiden, kami bisa wawancara langsung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar banyak hal kepada Presiden. Hal yang tidak pernah kami dapatkan sebelumnya.
Momentup pilkada serentak 2017 yang digelar di 101 wilayah, bukan sekedar masalah pilkada. Karena ini kedua kalinya serentak, setelah Desember 2015 lalu. Namun di balik itu, karena DKI Jakarta juga melakukan pilkada serentak.
Ya, ini masalah Jokowi, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), Agus Harimurti Yudhoyono maupun Anies Baswedan. Kenapa dengan orang-orang itu?
Tentu semua orang tahu bagaimana kedekatan Jokowi dengan Ahok. Ahok adalah pasangan Jokowi di pilkada DKI 2012, mengalahkan petahana Fauzi Bowo. Ahok menjadi gubernur DKI setelah Jokowi menjadi Presiden RI 2014-2019. Dan Ahok dilantik di Istana oleh Jokowi, pada 19 November 2017.
Anies Baswedan, juga punya kedekatan dengan Jokowi. Mantan Rektor Universitas Paramadina itu adalah juru bicara Jokowi-Jusuf Kalla pada pilpres 2014. Banyak yang menilai, Jokowi menang juga karena faktor Anies yang saat itu juga digandrungi sebagai pemimpin muda yang prospektif.
Tentu elektabilitas Anies dianggap memperkuat elektabilitas Jokowi. Selain kecakapan Anies saat menjadi juru bicara. Hingga Anies menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, walau pada akhir April 2016, direshuffle dan digantikan oleh Muhadjir Effendy.
Agus Harimurti Yudhoyono, adalah orang baru. Pensiun muda dari TNI. Tidak ada kedekatan Agus dengan Jokowi. Namun yang menarik, sosok di balik Agus, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 RI selama dua periode.
Kehadiran Agus dikancah pilkada DKI, dianggap upaya mengembalikan generasi Cikeas (SBY) di kancah politik. SBY dan Jokowi tidak bermusuhan, namun dalam hal politik, tentu tetap menjadi rival selain Prabowo Subianto.
Maka banyak yang melihat, pilkada DKI adalah rasa pilpres. Pilkada 2017 di DKI, disebut sebagai pemanasan untuk pilpres 2019. Tentu tidak salah, karena sudah ada presedennya, yurisprudensinya kalau bahasa hukumnya, itu sudah ada.
Kembali ke laptop (gaya Tukul di bukan 4 mata, hehehe)... Usai melepas puluhan kontainer untuk mengangkut beras kiriman ke Sri Lanka, Jokowi sempat menengok stok beras di gudang Bulog.
"Ada dorstop kan pak," tanya kami para wartawan, kepada Biro Pers.
Pihak Biro Pers memastikan ada. Sehingga kami bersiap. Awalnya, disiapkan tempat di depan. Namun berubah, di dalam area gudang. Rebutan posisi, sudah menjadi kewajaran bagi kami. Sehingga gaduh dan riuh kami, adalah santapan sehari-hari.
Pasukan Pengamanan Presiden alias Paspampres, sudah faham dengan itu. Dan kami sudah terbiasa juga kala Paspampres mengatur kami. Ya kadang-kadang terjadi salah paham, maklum dalam koridor menjalankan tugas masing-masing.
Saya mengambil posisi di barisan depan, setelah mewawancarai Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengenai bantuan ini. Rutinitas biasanya, Kabiro Pak Bey, akan menghadap Jokowi untuk memberi tahu seputar apa saja pertanyaan wartawan, sebelum sesi dorstop dilakukan. Saat itu, Pak Jokowi sedang berdiskusi ringan dengan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri BUMN Rini Soemarno, Seskab Pramono Anung, Kepala Staf Presiden Teten Masduki.
Namun kali ini sikap tak lazim Pak Jokowi terlihat. Pak Bey yang ada di sebelah saya, dan baru melangkah meuju ke arah Presiden, tiba-tiba dengan tangannya mengisyaratkan menolak diwawancara. Ia seakan tahu Pak Bey hendak menghampirinya untuk memberi tahu materi dorstop.
Tangan Jokowi langsung mengisyaratkan tidak ingin diwawancarai. Belum juga Pak Bey ke Jokowi, sudah langsung ditolak dari jarak jauh. Bagi saya, ini sikap tak lazim dari Pak Jokowi. Melihat tanda penolakan itu, Pak Bey berbelok menuju ke lokasi puluhan wartawan yang sudah siap.
"Nggak ada wawancara," kata Pak Bey disambut kekecewaan.
"Soal ini (bantuan kemanusiaan) saja pak," kta seorang wartawan beralasan. Ya, dengan alasan itu kami berharap Jokowi mau didorstop. Dan memang beliau akhirnya bersedia.
Pertanyaan pertama, tentu soal bantuan ini. Pak Jokowi menjelaskan dengan rinci. Namun pertanyaan kedua, diselipkan soal pilkada. Ya berusaha agar Jokowi berbicara pada H-1 pilkada serentak ini.
"Udah soal ini saja," elak Jokowi tersenyum.
Setelah itu, Jokowi kembali menjelaskan masalah bantuan pangan, dan termasuk program lainnya. Hingga berakhir, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Presiden mengenai pilkada serentak.
Jokowi menghindar dari pilkada. Apa karena Pak Jokowi selalu dikait-kaitkan dengan dukungan pada salah satu calon? Entahlah, hanya Pak Jokowi dan Tuhan yang tahu. Wallahualam
Tentu kami sebagai wartawan Istana Kepresidenan, yang sehari-hari meliput aktivitas dan melakukan wawancara dengan orang nomor satu di Indonesia itu, statemen dari Presiden menjadi sangat penting.
Jokowi memberi keterangan pers di gudang Bulog, Sunter (Foto: Biro Pers Istana) |
Dua komuter -- mobil yang disiapkan Biro Pers Istana -- sudah siap menunggu kami, rombongan wartawan, yang ingin menuju lokasi acara. Letaknya, ada di pergudangan Bulog di kawasan Sunter Jakarta Utara. Pukul 07.00 WIB pagi, dijadwalkan komuter ini sudah berangkat.
Tentu, wartawan yang rumahnya jauh seperti saya di Depok, harus bertolak dari rumah pagi-pagi buta. Saat itu, saya memilih berangkat sebelum Sholat Subuh, sekitar pukul 04.30 WIB sudah berada di kereta KRL dari Stasiun Citayam.
Beruntung, mengingat sepanjang jalan hujan turun dengan derasnya. Hingga tiba di Stasiun Manggarai, menyempatkan sholat subuh dan menunggu hujan reda. Pukul 06.30 WIB saya sudah tiba di bioskop Istana. Bioskop adalah sebutan untuk pressroom. Karena dulu, ruangan yang kini digunakan untuk pers itu, adalah tempat Presiden Soeharto menonton.
Sebenarnya sedikit lelah harus berangkat sepagi ini. Cuaca juga tidak mendukung, sedikit kurang enak badan. Namun momentumnya tepat. Karena, sejak Jokowi jadi Presiden, kami bisa wawancara langsung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar banyak hal kepada Presiden. Hal yang tidak pernah kami dapatkan sebelumnya.
Momentup pilkada serentak 2017 yang digelar di 101 wilayah, bukan sekedar masalah pilkada. Karena ini kedua kalinya serentak, setelah Desember 2015 lalu. Namun di balik itu, karena DKI Jakarta juga melakukan pilkada serentak.
Ya, ini masalah Jokowi, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), Agus Harimurti Yudhoyono maupun Anies Baswedan. Kenapa dengan orang-orang itu?
Tentu semua orang tahu bagaimana kedekatan Jokowi dengan Ahok. Ahok adalah pasangan Jokowi di pilkada DKI 2012, mengalahkan petahana Fauzi Bowo. Ahok menjadi gubernur DKI setelah Jokowi menjadi Presiden RI 2014-2019. Dan Ahok dilantik di Istana oleh Jokowi, pada 19 November 2017.
Anies Baswedan, juga punya kedekatan dengan Jokowi. Mantan Rektor Universitas Paramadina itu adalah juru bicara Jokowi-Jusuf Kalla pada pilpres 2014. Banyak yang menilai, Jokowi menang juga karena faktor Anies yang saat itu juga digandrungi sebagai pemimpin muda yang prospektif.
Tentu elektabilitas Anies dianggap memperkuat elektabilitas Jokowi. Selain kecakapan Anies saat menjadi juru bicara. Hingga Anies menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, walau pada akhir April 2016, direshuffle dan digantikan oleh Muhadjir Effendy.
Agus Harimurti Yudhoyono, adalah orang baru. Pensiun muda dari TNI. Tidak ada kedekatan Agus dengan Jokowi. Namun yang menarik, sosok di balik Agus, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 RI selama dua periode.
Kehadiran Agus dikancah pilkada DKI, dianggap upaya mengembalikan generasi Cikeas (SBY) di kancah politik. SBY dan Jokowi tidak bermusuhan, namun dalam hal politik, tentu tetap menjadi rival selain Prabowo Subianto.
Maka banyak yang melihat, pilkada DKI adalah rasa pilpres. Pilkada 2017 di DKI, disebut sebagai pemanasan untuk pilpres 2019. Tentu tidak salah, karena sudah ada presedennya, yurisprudensinya kalau bahasa hukumnya, itu sudah ada.
Kembali ke laptop (gaya Tukul di bukan 4 mata, hehehe)... Usai melepas puluhan kontainer untuk mengangkut beras kiriman ke Sri Lanka, Jokowi sempat menengok stok beras di gudang Bulog.
"Ada dorstop kan pak," tanya kami para wartawan, kepada Biro Pers.
Jokowi Didampingi Meneg BUMN Rini Soemarno, Menko PMK Puan Maharani. Membelakangi, wartawan mewawancarai Menlu Retno Marsudi. (Foto: Biro Pers Istana) |
Pihak Biro Pers memastikan ada. Sehingga kami bersiap. Awalnya, disiapkan tempat di depan. Namun berubah, di dalam area gudang. Rebutan posisi, sudah menjadi kewajaran bagi kami. Sehingga gaduh dan riuh kami, adalah santapan sehari-hari.
Pasukan Pengamanan Presiden alias Paspampres, sudah faham dengan itu. Dan kami sudah terbiasa juga kala Paspampres mengatur kami. Ya kadang-kadang terjadi salah paham, maklum dalam koridor menjalankan tugas masing-masing.
Saya mengambil posisi di barisan depan, setelah mewawancarai Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengenai bantuan ini. Rutinitas biasanya, Kabiro Pak Bey, akan menghadap Jokowi untuk memberi tahu seputar apa saja pertanyaan wartawan, sebelum sesi dorstop dilakukan. Saat itu, Pak Jokowi sedang berdiskusi ringan dengan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri BUMN Rini Soemarno, Seskab Pramono Anung, Kepala Staf Presiden Teten Masduki.
Namun kali ini sikap tak lazim Pak Jokowi terlihat. Pak Bey yang ada di sebelah saya, dan baru melangkah meuju ke arah Presiden, tiba-tiba dengan tangannya mengisyaratkan menolak diwawancara. Ia seakan tahu Pak Bey hendak menghampirinya untuk memberi tahu materi dorstop.
Tangan Jokowi langsung mengisyaratkan tidak ingin diwawancarai. Belum juga Pak Bey ke Jokowi, sudah langsung ditolak dari jarak jauh. Bagi saya, ini sikap tak lazim dari Pak Jokowi. Melihat tanda penolakan itu, Pak Bey berbelok menuju ke lokasi puluhan wartawan yang sudah siap.
"Nggak ada wawancara," kata Pak Bey disambut kekecewaan.
"Soal ini (bantuan kemanusiaan) saja pak," kta seorang wartawan beralasan. Ya, dengan alasan itu kami berharap Jokowi mau didorstop. Dan memang beliau akhirnya bersedia.
Pertanyaan pertama, tentu soal bantuan ini. Pak Jokowi menjelaskan dengan rinci. Namun pertanyaan kedua, diselipkan soal pilkada. Ya berusaha agar Jokowi berbicara pada H-1 pilkada serentak ini.
"Udah soal ini saja," elak Jokowi tersenyum.
Setelah itu, Jokowi kembali menjelaskan masalah bantuan pangan, dan termasuk program lainnya. Hingga berakhir, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Presiden mengenai pilkada serentak.
Jokowi menghindar dari pilkada. Apa karena Pak Jokowi selalu dikait-kaitkan dengan dukungan pada salah satu calon? Entahlah, hanya Pak Jokowi dan Tuhan yang tahu. Wallahualam
Comments