Presiden Jokowi usai membuka Rapimnas 1 Hanura di Bali. Hanura mengusung lagi Jokowi di Pilpres 2019 (dok pribadi) |
Kita mencoba membahas yang terakhir. Sejumlah partai, sudah mendeklarasikan untuk mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Dukungan dari partai-partai yang sudah mendeklarasikan diri mengusung, ditambah dari partai asal Pak Jokowi, rasanya sudah cukup memenuhi syarat presidential thresholad (PT) 20 persen, kalau pun nanti tidak dibatalkan oleh MK.
Namun bagi saya, politik adalah hubungan timbal balik, simbiosis mutualisme. Akan ada kepentingan politik di balik keputusan politik. Keputusan mengusung Pak Jokowi adalah keputusan politik. Lalu kepentingan politiknya apa? Ini yang manarik dibedah.
Masih kah kita ingat istilah 'Jokowi Effect'? Ya 'Jokowi Effect' diistilahkan sebagai keuntungan bagi PDIP, partai Pak Jokowi, untuk meraih suara maksimal pada pemilu legislatif 2014 lalu.
Dianalisa saat itu, kalau PDIP mengusung Pak Jokowi sebagai calon presiden, maka suara partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu bahkan bisa mencapai 30 persen. Kalau tidak mengumumkan dalam waktu dekat, bisa anjlok hingga di bawah 20 persen.
Lalu kita lihat faktanya. Berapa hasil akhir pemilu legislatif yang diperoleh partai-partai peserta pemilu? Hasil hitungan akhir KPU, PDIP hanya meraih 23.681.471 (18,95 persen).
Tetapi disadari atau tidak, pasti akan ada efek dari keputusan PDIP mencalonkan Jokowi saat itu. Bisa jadi, suara dukungan ke PDIP memang di bawah itu tetapi karena mengusung Jokowi, maka mencapi hasil akhir seperti itu. Bisa jadi, ada suara-suara yang berasal dari pemilih pemula atau yang sebelumnya apatis, akhirnya memberikan dukungan ke PDIP maupun Jokowi.
Kita semua tahu, bagaimana populernya Jokowi saat itu. Di media massa, setiap gerak gerik mantan Wali Kota Solo itu, selalu menjadi sorotan awak media. Selalu menjadi santapan yang ramai dikunyah oleh publik.
Kini, Pak Jokowi adalah seorang Presiden RI yang mengemban amanah sejak diambil sumpahnya oleh MPR pada 20 Oktober 2014 hingga 2019. Popularitasnya, bisa jadi tetap stabil. Dia juga adalah incumbent, yang bisa terus disorot dengan sejumlah keberhasilan pemerintahannya. Beda dengan calon lain, yang biasanya baru akan memperkenalkan diri di musim-musim kampanye. Itulah keunggulan kalau calon incumbent atau patahana.
Lalu bagaimana dengan parpol yang mengusungnya? Kata Pak Jokowi, itu adalah hak partai-partai tersebut. Namun, apa keuntungan mengusung dini (karena pilpres masih lama) oleh sejumlah partai?
PPP dalam rekomendasinya juga mengusung Jokowi di Pilpres 2019. Sebelumnya Golkar lebih awal (dok pribadi) |
Maka salah satu strategi politiknya, adalah mengambil momentum politik yang bisa mengkapitalisasi suara lebih banyak. Kapitalisasi itu tentu ada juga pada sosok Jokowi, sehingga bisa menjadi simbol bagi partai-partai untuk meraih dukungan masyarakat, dan untuk mempertahankan konstituen.
Tentu kontribusi apa yang bisa diberikan dengan mengusung Jokowi, belum terlihat. Tetapi, setidaknya dengan mengusung lebih awal, maka lebih awal juga bagi partai-partai tersebut untuk mencari dukungan politik partai. Itu penting, untuk keberlangsungan partai ke depan.
Selain itu, perlu juga dilihat kepentingan yang lain yakni mendapatkan 'kue' kabinet lebih banyak. Lagi-lagi, ini soal politik kekuasaan. Semakin banyak kader yang punya kedudukan, maka ada jaminan keberlangsungannya.
Sebab, 'kue' kabinet kalau nanti incumbent menang lagi, menjadi penting. Karena hanya dua periode berturut-turut seorang bisa menjabat, dan tidak boleh diusung lagi ketiga kalinya.
Jokowi tentu masih menjadi magnet. Peluang menang di atas kertas, juga besar. Maka memberi dukungan di awal, 'Jokowi Effect' tetap menjadi harapan bagi partai untuk menambah kapitalisasi suara partai mereka.
Comments