Melalui akun instagram pribadinya, penyanyi Maia Estianty mengunggah foto dirinya dan neneknya, Oetari Tjokroaminoto. Melihat namanya, tentu bayangan kita ke pahlawan nasional HOS Tjokroaminoto.
Semua orang tahu, kalau Maia, janda musisi Ahmad Dhani itu, adalah cicit HOS Tjokroaminoto. Namun lewat unggahan di instagram miliknya beberapa hari lalu, publik kembali disadarkan kalau ia juga termasuk 'cucu' Presiden ke-1 RI Soekarno atau Bung Karno.
"My grandmother, Oetari Tjokroaminoto, was the first wife of the first president of Republic Indonesia, Soekarno.... Nenek saya ini, Oetari Tjokroaminoto adalah istri pertama Presiden RI yg pertama, Soekarno. #maiaestianty #diarymaia #soekarno #istrisoekarno," tulis @maiaestianty.
Awal Bung Karno Nikahi Nenek Maia
Bung Karno termasuk murid Haji Oemar Said Tjokroaminoto, saat masih muda dan menimba ilmu di Surabaya, Jawa Timur. Bahkan, Bung Karno menganggap Surabaya (tempat dia menuntut ilmu) sebagai dapur nasionalisme.
Jiwa itu muncul, karena Bung Karno dan sejumlah tokoh nasional lainnya, pernah tinggal kos di kediaman Tjokro, Peneleh Gang 7. Saat Bung Karno masuk, Pak Tjokro sudah memiliki tiga anak dan seorang bayi, yakni Harsono, Anwar dan Utari.
"Sebagai seorang tokoh yang memiliki daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya, Pak Cokro adalah idolaku. Aku muridnya," pengakuan Bung Karno seperti dikutip dalam buku 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.
Kekaguman Bung Karno terus bertambah. Walau tidak terlihat kasih sayangnya, tetapi Bung Karno tahu kalau Tjokoraminoto memperhatikan bakat kepemimpinannya.
Pada 1918. saat Gunung Kelud di Kediri, dekat Blitar, tempat ayah Bung Karno yang baru ditempati dua bulan, meletus, Tjokoroaminoto bahkan rela ke Blitar untuk menjenguk Bung Karno.
Ketika istri Tjokroaminoto meninggal, ada perubahan sikap dari tokoh Sarekat Islam. Bung Karno dalam 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' menggambarkan bahwa gurunya itu tertekan. Mengingat, anak-anak dari Pak Tjokro masih kecil-kecil.
Setelah istrinya meninggal, Tjokroaminoto dan para anak kos termasuk Bung Karno, pindah rumah.
Di rumah baru itu, cerita Bung Karno, saudara Tjokroaminoto berbicara kepadanya. Kepada Bung Karno, keluarga itu memperlihatkan betapa sedihnya Pak Tjokro, sang gurunya itu. Ia meminta Bung Karno melakukan sesuatu agar hati sang guru itu gembira.
"Dengan segala senang hati aku mau mengerjakan sesuatu, supaya dia dapat tersenyum lagi. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku tidak bisa menjadi istri Pak Cokro," jawab Bung Karno.
Keluarga Pak Tjokro itu meminta Bung Karno melakukan hal yang lain, yakni menikahi Oetari (Utari), yang kala itu masih berumur 16 tahun.
Bung Karno diminta untuk menjadi menantu Pak Tjokoro. Alasannya, karena ibunya Oetari sudah meninggal maka dengan dinikahi, akan mengurangi tekanan yang ada pada diri Tjokro.
Sempat ada keraguan pada diri Bung Karno. Hingga keluarga Pak Tjokro itu meyakinkan, walau usia Oetari masih 16 tahun tetapi dia juga belum menginjak umur 21.
"Aku berhutang budi pada Pak Cokro dan.... aku mencintai Utari. Walau hanya sedikit. Bagaimanapun, bila menurutmu aku perlu menikahi Utari guna meringankan beban dari orang yang kupuja itu, itu akan kulakukan," kata Bung Karno.
Dia menghadap Pak Tjokro untuk melamar Oetari. Benar saja, Pak Tjokro tampak senang Bung Karno bermaksud untuk menikahi anaknya, Oetari.
"Kami memilih kawin gantung,"
Kawin gantung lazim dilakukan, karena kedua calon suami dan istri itu belum cukup umur. Alasan lain kawin ini digunakan oleh masyarakat, pengantin perempuan harus tetap di rumah orangtuanya sampai pengantin laki-laki mampu menafkahi, untuk belanja rumah tangga.
Akhir Kisah Dengan Oetari
Lulus dari HBS pada 10 Juni 1921, Bung Karno sudah berniat untuk melanjutkan ke Belanda. Lazimnya begitu. Namun, ia mendapatkan rintangan besar. Orangtua tidak menyetujui, terutama sang ibu.
Kesaksian Bung Karno dalam 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia', ia menuju Bandung pada akhir Juni 1921.
Sebagai mertua, Pak Tjokro juga menyediakan tempat kos ke menantunya itu. Kawan lama Pak Tjokro, bernama Haji Sanusi, menjadi tempat kos Bung Karno selama menempuh pendidikan di Bandung. Sekolah Teknik Tinggi, yang dipilih.
Di rumah itu, Haji Sanusi hanya tinggal bersama istrinya, Inggit Ganarsih. Bung Karno pun mengakui langsung mengagumi Inggit saat itu juga.
"Saat pertama ketika aku melangkah masuk, aku berkata dalam hati, "Oh luar biasa perempuan ini,". Saat itu, Bung Karno berumur 20 tahun, sementara Inggit lebih 30 tahun.
Bung Karno bertutur, meski satu kamar dengan Oetari, tetapi banyak perbedaan keduanya. Bung Karno yang serius belajar, berpidato di hadapan para pemuda Indonesia, tetapi Oetari masih senang bermain. Kejar-kejaran dengan keponakan Inggit di pekarangan belakang.
Saat Oetari sakit, Bung Karno tetap merawat. Dari ujung kepala hingga kaki. Tapi pengakuan Bung Karno, "Namun tak sekalipun aku menyentuhnya. Ketika dia sudah sembuh, tetap tidak ada hubungan badaniah di antara kami,".
Aksi pemogokan di Garut, yang dikenal sebagai Kasus Afdeling, membuat Tjokoroaminoto ditahan. Aksi-aksi buruh itu dianggap digerakkan oleh Sarekat Islam, dimana Pak Tjokro adalah ketuanya.
Kondisi ini, membuat Bung Karno dilema. Apakah pulang dan berhenti sekolah, atau melanjutkan tanpa menghiraukan kondisi mertuanya, HOS Tjokroaminoto.
Inggit, yang selalu menemani Bung Karno di rumah karena Haji Sanusi hampir jarang di rumah akibat ketagihan berjudi, sempat berdiskusi dengan Bung Karno terkait keputusannya tidak melanjutkan pendidikannya itu.
"Dia sedang menyedu kopi tubruk, kopi hitam pekat kegemaranku, dan tangannya tampak agak gemetar,". Lalu Inggit berujar, apakah bisa meninggalkan sekolah maka cita-cita Bung Karno bisa diraih.
Bersama Oetari, dia kembali ke Surabaya. Sempat bekerja sebagai klerk di stasiun kereta api. Gajinya, untuk menghidupi anak-anak Tjokroaminoto. Hingga pada April 1922 dibebaskan. Bung Karno kembali ke Bandung untuk melanjutkan studi, dan tetap tinggal di rumah Inggit.
Kedekatan Bung Karno dengan Inggit makin dalam. Perhatian dan kasih sayang, seperti merapikan tempat tidur dan menyiapkan makanan, bahkan sering berdiskusi antara keduanya, membuat Bung Karno dan Inggit semakin dekat.
Oetari paham kedekatan itu. Begitu juga Haji Sanusi, yang menurut penuturan Bung Karno tidak berusaha merebut kembali hati istrinya, Inggit.
Enam bulan di Bandung, Bung Karno memutuskan untuk mengembalikan Oetari ke Tjokroaminoto.
Bung Karno menghadap Pak Tjokro dan mengatakan mengembalikan Oetari. Tjokro sempat bertanya, ini keputusan siapa. Ini memang keputusan Bung Karno yang ingin bercerai.
"Demikianlah, di tahun 1922, aku menyerahkan istriku yang masih kekanak-kanakan itu kepada ayahnya. Dan aku kembali ke Bandung....Kepada cintaku yang sejati,".
Tidak susah bagi Inggit dan Bung Karno, untuk meresmikan hubungannya. Haji Sanusi, dengan cepat membebaskan Inggit. Hubungan baik tetap terjaga, bahkan tidak lama kemudian Haji Sanusi menikah lagi.
Hubungan dengan keluarga HOS Tjokroaminoto juga tetap terjalin baik. Bahkan Oetari, juga menikah lagi.
"Dalam waktu yang singkat, Utari pun melangsungkan pernikahan dengan Bachrun Salam, yang dulu merupakan temanku kos di rumah Pak Cokro. Mereka memiliki delapan anak,".
Tahun 1923, Bung Karno dan Inggit menikah. Tidak ada yang tersakiti, baik pihak Oetari maupun Haji Sanusi.
Semua orang tahu, kalau Maia, janda musisi Ahmad Dhani itu, adalah cicit HOS Tjokroaminoto. Namun lewat unggahan di instagram miliknya beberapa hari lalu, publik kembali disadarkan kalau ia juga termasuk 'cucu' Presiden ke-1 RI Soekarno atau Bung Karno.
"My grandmother, Oetari Tjokroaminoto, was the first wife of the first president of Republic Indonesia, Soekarno.... Nenek saya ini, Oetari Tjokroaminoto adalah istri pertama Presiden RI yg pertama, Soekarno. #maiaestianty #diarymaia #soekarno #istrisoekarno," tulis @maiaestianty.
Awal Bung Karno Nikahi Nenek Maia
Bung Karno termasuk murid Haji Oemar Said Tjokroaminoto, saat masih muda dan menimba ilmu di Surabaya, Jawa Timur. Bahkan, Bung Karno menganggap Surabaya (tempat dia menuntut ilmu) sebagai dapur nasionalisme.
Jiwa itu muncul, karena Bung Karno dan sejumlah tokoh nasional lainnya, pernah tinggal kos di kediaman Tjokro, Peneleh Gang 7. Saat Bung Karno masuk, Pak Tjokro sudah memiliki tiga anak dan seorang bayi, yakni Harsono, Anwar dan Utari.
"Sebagai seorang tokoh yang memiliki daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya, Pak Cokro adalah idolaku. Aku muridnya," pengakuan Bung Karno seperti dikutip dalam buku 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.
Kekaguman Bung Karno terus bertambah. Walau tidak terlihat kasih sayangnya, tetapi Bung Karno tahu kalau Tjokoraminoto memperhatikan bakat kepemimpinannya.
Pada 1918. saat Gunung Kelud di Kediri, dekat Blitar, tempat ayah Bung Karno yang baru ditempati dua bulan, meletus, Tjokoroaminoto bahkan rela ke Blitar untuk menjenguk Bung Karno.
Ketika istri Tjokroaminoto meninggal, ada perubahan sikap dari tokoh Sarekat Islam. Bung Karno dalam 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' menggambarkan bahwa gurunya itu tertekan. Mengingat, anak-anak dari Pak Tjokro masih kecil-kecil.
Setelah istrinya meninggal, Tjokroaminoto dan para anak kos termasuk Bung Karno, pindah rumah.
Di rumah baru itu, cerita Bung Karno, saudara Tjokroaminoto berbicara kepadanya. Kepada Bung Karno, keluarga itu memperlihatkan betapa sedihnya Pak Tjokro, sang gurunya itu. Ia meminta Bung Karno melakukan sesuatu agar hati sang guru itu gembira.
"Dengan segala senang hati aku mau mengerjakan sesuatu, supaya dia dapat tersenyum lagi. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku tidak bisa menjadi istri Pak Cokro," jawab Bung Karno.
Keluarga Pak Tjokro itu meminta Bung Karno melakukan hal yang lain, yakni menikahi Oetari (Utari), yang kala itu masih berumur 16 tahun.
Bung Karno diminta untuk menjadi menantu Pak Tjokoro. Alasannya, karena ibunya Oetari sudah meninggal maka dengan dinikahi, akan mengurangi tekanan yang ada pada diri Tjokro.
Sempat ada keraguan pada diri Bung Karno. Hingga keluarga Pak Tjokro itu meyakinkan, walau usia Oetari masih 16 tahun tetapi dia juga belum menginjak umur 21.
"Aku berhutang budi pada Pak Cokro dan.... aku mencintai Utari. Walau hanya sedikit. Bagaimanapun, bila menurutmu aku perlu menikahi Utari guna meringankan beban dari orang yang kupuja itu, itu akan kulakukan," kata Bung Karno.
Dia menghadap Pak Tjokro untuk melamar Oetari. Benar saja, Pak Tjokro tampak senang Bung Karno bermaksud untuk menikahi anaknya, Oetari.
"Kami memilih kawin gantung,"
Kawin gantung lazim dilakukan, karena kedua calon suami dan istri itu belum cukup umur. Alasan lain kawin ini digunakan oleh masyarakat, pengantin perempuan harus tetap di rumah orangtuanya sampai pengantin laki-laki mampu menafkahi, untuk belanja rumah tangga.
Akhir Kisah Dengan Oetari
Lulus dari HBS pada 10 Juni 1921, Bung Karno sudah berniat untuk melanjutkan ke Belanda. Lazimnya begitu. Namun, ia mendapatkan rintangan besar. Orangtua tidak menyetujui, terutama sang ibu.
Kesaksian Bung Karno dalam 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia', ia menuju Bandung pada akhir Juni 1921.
Sebagai mertua, Pak Tjokro juga menyediakan tempat kos ke menantunya itu. Kawan lama Pak Tjokro, bernama Haji Sanusi, menjadi tempat kos Bung Karno selama menempuh pendidikan di Bandung. Sekolah Teknik Tinggi, yang dipilih.
Di rumah itu, Haji Sanusi hanya tinggal bersama istrinya, Inggit Ganarsih. Bung Karno pun mengakui langsung mengagumi Inggit saat itu juga.
"Saat pertama ketika aku melangkah masuk, aku berkata dalam hati, "Oh luar biasa perempuan ini,". Saat itu, Bung Karno berumur 20 tahun, sementara Inggit lebih 30 tahun.
Bung Karno bertutur, meski satu kamar dengan Oetari, tetapi banyak perbedaan keduanya. Bung Karno yang serius belajar, berpidato di hadapan para pemuda Indonesia, tetapi Oetari masih senang bermain. Kejar-kejaran dengan keponakan Inggit di pekarangan belakang.
Saat Oetari sakit, Bung Karno tetap merawat. Dari ujung kepala hingga kaki. Tapi pengakuan Bung Karno, "Namun tak sekalipun aku menyentuhnya. Ketika dia sudah sembuh, tetap tidak ada hubungan badaniah di antara kami,".
Aksi pemogokan di Garut, yang dikenal sebagai Kasus Afdeling, membuat Tjokoroaminoto ditahan. Aksi-aksi buruh itu dianggap digerakkan oleh Sarekat Islam, dimana Pak Tjokro adalah ketuanya.
Kondisi ini, membuat Bung Karno dilema. Apakah pulang dan berhenti sekolah, atau melanjutkan tanpa menghiraukan kondisi mertuanya, HOS Tjokroaminoto.
Inggit, yang selalu menemani Bung Karno di rumah karena Haji Sanusi hampir jarang di rumah akibat ketagihan berjudi, sempat berdiskusi dengan Bung Karno terkait keputusannya tidak melanjutkan pendidikannya itu.
"Dia sedang menyedu kopi tubruk, kopi hitam pekat kegemaranku, dan tangannya tampak agak gemetar,". Lalu Inggit berujar, apakah bisa meninggalkan sekolah maka cita-cita Bung Karno bisa diraih.
Bersama Oetari, dia kembali ke Surabaya. Sempat bekerja sebagai klerk di stasiun kereta api. Gajinya, untuk menghidupi anak-anak Tjokroaminoto. Hingga pada April 1922 dibebaskan. Bung Karno kembali ke Bandung untuk melanjutkan studi, dan tetap tinggal di rumah Inggit.
Kedekatan Bung Karno dengan Inggit makin dalam. Perhatian dan kasih sayang, seperti merapikan tempat tidur dan menyiapkan makanan, bahkan sering berdiskusi antara keduanya, membuat Bung Karno dan Inggit semakin dekat.
Oetari paham kedekatan itu. Begitu juga Haji Sanusi, yang menurut penuturan Bung Karno tidak berusaha merebut kembali hati istrinya, Inggit.
Enam bulan di Bandung, Bung Karno memutuskan untuk mengembalikan Oetari ke Tjokroaminoto.
Bung Karno menghadap Pak Tjokro dan mengatakan mengembalikan Oetari. Tjokro sempat bertanya, ini keputusan siapa. Ini memang keputusan Bung Karno yang ingin bercerai.
"Demikianlah, di tahun 1922, aku menyerahkan istriku yang masih kekanak-kanakan itu kepada ayahnya. Dan aku kembali ke Bandung....Kepada cintaku yang sejati,".
Tidak susah bagi Inggit dan Bung Karno, untuk meresmikan hubungannya. Haji Sanusi, dengan cepat membebaskan Inggit. Hubungan baik tetap terjaga, bahkan tidak lama kemudian Haji Sanusi menikah lagi.
Hubungan dengan keluarga HOS Tjokroaminoto juga tetap terjalin baik. Bahkan Oetari, juga menikah lagi.
"Dalam waktu yang singkat, Utari pun melangsungkan pernikahan dengan Bachrun Salam, yang dulu merupakan temanku kos di rumah Pak Cokro. Mereka memiliki delapan anak,".
Tahun 1923, Bung Karno dan Inggit menikah. Tidak ada yang tersakiti, baik pihak Oetari maupun Haji Sanusi.
Comments