Rumah Aidit, usai dibakar masa usai peristiwa G30S/PKI yang kini menjadi DPD Golkar DKI. Foto diambil dari buku (Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara) |
Malam hari pukul 21.20 WIB pada Jumat 30 September 1965 itu,
kediaman Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa
Nusantara Aidit, kedatangan banyak tamu. Ilham, anak Aidit yang saat itu masih belia, berlalu
lalang di ruangan dimana ayahnya asyik berbincang dengan tamu, saat itu sedang bersama Hardoyo, Ketua CGMI (Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi underbow PKI.
Tengah malam, rumah yang terletak di pojok Jalan Pegangsaan
Cikini itu, riuh. Bermula dari kehadiran mobil jeep militer, dan berlanjut deru
sepatu. Dua orang tentara mengetuk pintu. Istri Aidit, sempat marah, mengingat
sudah larut. Namun Aidit dipanggil juga, yang sedang berada di ruang kerjanya (Aidit:
Dua Wajah Dipa Nusantara; 60-65).
Di tengah larut malam itu, Aidit dengan tas yang berisi
baju, mengikuti permintaan dua tentara itu untuk meninggalkan rumahnya. Semenjak
saat itu, Aidit tidak pernah lagi terlihat, baik oleh Ilham istrinya. Hingga ia
diketahui tewas di Jawa. Semenjak itu, PKI menjadi incaran aparat, telebih lagi
setelah rezim Soekarno tumbang dan berganti oleh rezim Orde Baru Soeharto. Rumah
Aidit itu, sempat didemo dan dirusaki.
Hampir 60 tahun, rumah Aidit itu saat ini sudah beralih
fungsi. Mungkin setelah Orde Baru, rumah itu diambil oleh Golkar, golongan
utama yang mendukung Soeharto.
Hingga kini, rumah itu menjadi kantor DPD Golkar
DKI Jakarta.
Kita tidak akan membahas Aidit, PKI atau soal sejarah itu. Tetapi,
yang meranik adalah perubahan kantor itu. Dari rumah seorang ketua partai yang
hingga kini terlarang (sesuai TAP MPR) hingga digunakan oleh partai tertua di
Indonesia, Golkar.
Beberapa tahun lalu, jika kita melewati jalan di depannya,
maka akan terlihat banyak spanduk berwarna kuning. Bahkan baliho besar di pojok
jalan, terpampang foto Joko Widodo dan ketua umum Golkar. Baliho besar itu
tidak hanya menandakan dukungan partai itu ke sosok Joko Widodo. Tetapi menandakan,
di situ adalah markas partai itu.
Layaknya kantor-kantor partai, dulu gedung itu hanya
bangunan biasa. Pintu masuk berada di pojok. Halaman depan, digunakan untuk
parkir kendaraan tamu atau anggota partai. Tempat itu hanyalah bangunan biasa,
bahkan tidak menarik jika dibandingkan dengan gedung-gedung mewah di dekatnya.
Sebenarnya lokasinya cukup strategis. Persis berada di
sebelah Stasiun Kereta Cikini. Maka untuk menjangkaunya, cukup naik KRL. Awalnya,
gedung itu tidak menarik dibandingkan dengan kantor pusat Golkar yang berada di
Jalan Anggrek Neli Jakarta Barat.
Saking kakunya gedung itu, rasanya untuk menoleh ke dalam
pun, tidak ada yang tertarik. Apalagi ada embel-embel sebagai gedung partai
politik. Maklum, kepercayaan publik terhadap partai dan politik, terlalu negatif.
Itu cerita dulu. Cerita sebuah bangunan bekas rumah D.N
Aidit yang dijadikan markas Golkar DKI. Gedung yang kaku, sekaku orang memaknai
politik. Tapi kini, 2018, rasanya perspektif orang mulai berbalik. Yang sebelumnya
cuek, pasti akan tertarik.
Benar saja. Setelah direnovasi mungkin hampir setahun
belakangan, gedung itu berubah total dari fisik awalnya. Tidak ada lagi jejak-jejak
Aidit atau Golkar yang dulu. Berubah, menjadi bangunan yang menarik, zaman now
banget, dan menjadi pusat perhatian generasi muda. Padahal itu gedung partai
lho. Di depannya, jelas tertulis DPD Golkar DKI.
Rabu 27 Juni 2018 siang, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga
Hartarto, menyaksikan quick count atau hitung cepat pilkada serentak di 171
daerah. Dilanjutkan dengan keterangan pers dan seperti biasa, wawancara doorstop
terkait beberapa hal. Acaranya di lanti 3 gedung itu.
Di atas, sebenarnya sudah terlihat ketertarikan pada ruangan
itu. Ruangannya tidak ditutupi oleh tembok-tembok layaknya kantor partai. Kita bisa
melihat ke luar, karena hanya berbatas dengan kaca bening. Sehingga dari
ketinggian itu, kita bisa melihat ke luar dengan sangat jelas. Aktivitas di jalan
raya, stasiun Cikini, hingga halaman gedung partai yang luas itu, terpampang
jelas.
Usai keterangan pers dan wawancara, puluhan jurnalis memilih
untuk tetap di ruangan itu dan melanjutkan untuk mengetik berita. Jam di
handphone menunjukkan pukul 16.30 WIB. Rasanya sudah cukup waktu untuk
meninggalkan gedung itu. Sembari mencari tempat kopi. Mata terlalu lelah.
Turun menggunakan lift, sesaat ingin membuang air kecil atau
kencing.
Toiletnya berada di pojok, tidak jauh dari lift itu. Tapi harus keluar
ruangan dulu. Tempatnya bersanding dengan toilet perempuan. Masuk ke dalam,
tampak memang rancangan gedung ini dibuat ramah lingkungan. Setelah membuka
pintu, kita langsung disuguhi pemandangan yang terbuka. Temboknya hanya
sepinggang, setinggi tempat buang air berdiri.
Maka ketika kita berdiri untuk
kencing, pemandangannya adalah halaman belakang gedung itu, yang sekitar 2
meter sudah langsung tembok pagar area yang cukup tinggi. Temboknya juga tidak
dibiarkan kosong, melainkan ditutupi dengan tumbuhan-tumbuhan sehingga tidak
terlihat lagi permukaan tembok itu.
Ketakjuban akan perubahan rumah Aidit oleh Golkar, tidak
cukup di situ. Gedungnya sebenarnya tidak terlalu besar. Di sisi timur bagian
paling bawah, ada sebuah café. Kan tidak pernah terjadi, kantor partai menyatu
dengan café. Konsepnya pun kekinian. Tempat terbuka, tidak ada dinding yang
membatasi pandangan. Hanya kaca transparan.
Gedung bercat putih itu, juga sengaja ditumbuhi tanaman
merambat. Sehingga menambah eksotisnya. Selain tentu lebih ramah lingkungan.
Di pojok, beberapa wartawan berbincang dengan politisi Golkar. Di sisi lain, warga menikmati keindahannya |
Terlihat, banyak anak muda, generasi milenial yang asyik
berbincang dan beberapa asyik mengetik di laptop. Mereka bukan wartawan, yang
biasa meliput acara politik apalagi partai. Walau di situ ada wartawan, tetapi
banyak juga dari merek yang sekedar nongkrong.
Mau salat? Jangan khawatir. Di lantai dasar itu, disediakan
sebuah ruangan yang sangat besar. Ruangan itu difungsikan sebagai musala. Untuk
berwudhu juga ada di dekatnya. Sangat sejuk, representative, dan terjangkau. Kita
bisa menikmati keindahan alam di lokasi itu, sembari tetap bisa beribadah.
Beralih ke halaman depan, halaman yang cukup luas. Bentuk halamannya
pun cukup unik tetapi menarik. Jika kita di situ, rasanya kita bukan berada di
sebuah kantor partai politik. Tetapi berada di sebuah taman rakyat yang khusus dibangun
pemerintah atau menggunakan dana CSR. Tidak. Itu adalah halaman gedung Partai
Golkar.
Deretan kursi panjang, kursi-kursi kecil di sisinya, lalu
ada bagian taman yang sengaja dibuat rendah, sehingga tamannya tidak monoton
rata. Kursi berupa bantal, juga terlihat ada. Sehingga menambah semarak taman
ini.
Di bagian paling depan, diberi sentuhan rumput sintetis. Di situlah
banyak anak-anak zaman now, asyik bercengkrama. Entah apa yang dibicarakan, tetapi
mereka menikmati tempat itu. Di sisi lain, beberapa diantara mereka asyik
berfoto-foto dengan berbagai gaya. Mengeksplore keindahan taman, halaman depan
dari gedung Partai Golkar DKI itu.
Apakah tidak ada wartawan? Oh ada. Mereka asyik berbincang
dengan salah satu pengurus partai itu. Tapi tidak tampak bahwa itu adalah
aktifitas politik, aktifitas jurnalistik. Yang ada, seperti sebuah taman yang
sangat indah, dan di dalamnya banyak terjadi interaksi antar manusia.
Di taman itu, rumput sintetis membuat kita bisa menikmati
lesehan. Seperti Masjid Raya Bandung, seperti itulah halaman depan bekas rumah
pentolan PKI itu. Walau tidak sebesar di Bandung.
Bagi yang lesehan di rumput sintetis itu, bisa menikmati
tayangan televisi. Di situ, disiapkan juga layar permanen yang cukup besar. “Mau
kita gunakan untuk nonton bareng piala dunia,” kata Airlangga beberapa waktu
sebelum piala dunia 2018 dimulai.
Bahkan menurut Airlangga, gedung ini meraih
juara 1. Saat itu, Presiden Jokowi menyempatkan meresmikan gedung
ini. Sekaligus berbuka puasa dan bertemu dengan para generasi 4.0.
“Dapat kami laporkan Bapak Presiden rumah ini mendapatkan juara desain parpol terbaik bukan hanya di Indonesia tetapi di Asia dan dunia oleh majalah kritikus arsitektur ternama versi Art Daily," kata Airlangga saat itu.
Sejumlah wartawan asyik duduk di taman DPD Golkar sembari menunggu buka puasa (dok.pribadi) |
“Dapat kami laporkan Bapak Presiden rumah ini mendapatkan juara desain parpol terbaik bukan hanya di Indonesia tetapi di Asia dan dunia oleh majalah kritikus arsitektur ternama versi Art Daily," kata Airlangga saat itu.
Maka, ketika anda melewati Jalan Pegangsaan, atau menuju
Stasiun Cikini, maka sempatkanlah mampir ke kantor Partai Golkar DKI. Bukan untuk
menjadi anggota partai, tetapi menikmati taman, gedung dan suasana yang sangat
asri itu. Kalau di Jakarta ada Taman Menteng, Taman Suropati, Taman Lembang,
maka sekarang kita layak menyebut Taman DPD Golkar juga layak untuk tempat
bersantai, sekedar nongkrong, membaca, atau bertemu teman-teman.
Comments