Sumber; www.kisahikmah.com |
Berbicara H.Agus Salim, tentu tidak akan ada habisnya.
Lelaku berjanggut dan perokok itu, adalah seorang negarawan, bahkan bisa
dibilang penganut Islam moderat. Dia lah yang pertama kali menghilangkan
sekat/pembatas antara perempuan dan laki-laki dalam sebuah rapat organisasi.
Dalam dunia pergerakan, Agus Salim juga terkenal setelah
ikut bergabung di Sarekat Islam (SI). Bahkan, ia langsung menjadi orang
kepercayaan HOS Tjokroaminoto ketika SI semakin besar. Dia juga sebagai tokoh
yang bisa mempertahankan organisasi itu tetap di ‘kanan’ meskipun ada
anggota-anggota yang ingin mengupayakan berhaluan ‘kiri’. Hingga saat itu
dikenal sebagai SI putih dan SI merah.
Namun diplomasi seorang Patje Agus Salim, juga tidak kalah
hebatnya. Ia sempat menjabat sebagai menteri luar negeri. Jabatan di awal-awal
kemerdekaan Indonesia. Tentu bukan suatu amanah yang mudah. Apa itu Indonesia? Dimana itu Indonesia?
Haji Agus Salim, A.R Baswedan (Menteri Muda Penerangan),
Nazir Pamuntjak (pejabat Kemenlu) dan H.M Rasjidi (pejabat Kemenag), bertolak
ke Mesir sekitar April 1947. Tujuan mereka, adalah berdiplomasi agar
mendapatkan pengakuan de jure dari
negara itu atas kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamirkan dua tahun
sebelumnya.
Tentu tugas berat. Mengingat Belanda, juga masih bernafsu
untuk menguasia kembali Tanah Air. Di sisi lain, Mesir juga ditekan oleh
Belanda dan sekutu. Keinginannya, tentu agar pengakuan de jure tidak diberikan oleh Perdana Menteri Mesir Nokhrashi Pasha.
Dalam The Grand Old
Man dikisahkan, saat itu rombongan dari Indonesia yang dipimpin langsung
oleh Haji Agus Salim, mendarat di Mesir. Tetapi mereka tertahan. Oleh pihak
imigrasi di bandara itu, rombongan ini tidak diizinkan melintas. Sehingga tertahan
di dalam. Mereka akan dideportasi, kembali ke Indonesia.
Mengingat Indonesia baru merdeka, belum ada pengakuan dari
negara-negara lain, maka paspor menjadi masalah. Dan benar saja, di imigrasi
Mesir itu, rombongan tidak diizinkan melintas dan masuk ke wilayah Mesir.
A.R Baswedan, dengan empat carik kertas yang berfungsi
sebagai paspor sementara, terpaksa harus berdebat kencang dengan petugas
imigrasi itu. Rombongan sebelumnya mendarat di New Delhi India, sehingga merasa
bahwa paspor sementara itu bisa digunakan.
“Tuan Baswedan, saya tidak tahu menahu dengan kebijakan
imigrasi New Delhi. Tapi di sini, dokumen itu illegal,” petugas itu menegaskan
ke Baswedan yang suaranya mulai meninggi.
Baswedan, yang juga kakek Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan itu, tetap ngotot bahwa mereka harus masuk Mesir. Karena mereka dari
Indonesia, sebuah negara besar yang baru merdeka.
Tidak gampang menyerah, itulah A.R Baswedan. Hingga ia menunjukkan
identitas para anggota delegasi. Lengkap bahwa mereka dari Indonesia. Si petugas
imigrasi, dibuat jengkel.
“Tuan. Maaf! Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami butuh
paspor, bukan surat tidak resmi dari negara yang tidak dikenal!”.
Mungkin si petugas itu, sudah kehabisan kata-kata. Sudah enggan
lagi melayani sikap ngotot Baswedan. Hingga terucap kata-kata ‘negara yang
tidak dikenal’ itu.
A.R Baswedan menyerah. Dia menghampiri semua anggota. Bingung
harus bagaimana lagi. Sementara misi mereka harus sukses, untuk masa depan
Indonesia. Setidaknya, untuk mendapatkan banyak pengakuan de jure dari negera lain.
Pengakuan itu menjadi penting, agar Belanda yang ingin
kembali masuk menjajah, menghentikan niatnya. Karena Indonesia sudah menjadi
negara yang diakui oleh negara-negara lain. Maka diplomasi ke Mesir, sebenarnya
adalah sebagai pembuka bagi eksistensi Indonesia ke depannya.
Haji Agus Salim maju. Ia menggantikan posisi Baswedan yang
sebelumnya gagal menaklukkan si petugas imigrasi Mesir. Awalnya, kehadiran Agus
Salim di hadapan petugas, langsung ditolak mentah-mentah. Petugas itu tetap
pada pendiriannya bahwa delegasi tidak diizinkan melintas.
Ia kemudian meminta waktu untuk berbicara. Kali ini, Haji
Agus Salim mengutarakan itu dalam bahasa Arab, bukan bahasa Inggris. Keahlian itu,
membuat petugas imigrasi tadi tercengang. Dia tidak menyangka, seorang bapak
tua dengan janggut panjangnya, fasih berbahasa Arab.
Haji Agus Salim belum mengutarakan maksudnya, hanya meminta
waktu. Ajaibnya, si petugas imigrasi tadi tanpa ada bantahan, langsung menerima
tawaran itu. Ia pun mendengarkan secara seksama, penjelasan dari patjee. Tentu
dalam bahasa Arab.
Dari kejauhan, A.R Baswedan dan yang lainnya, melihat sebuah
situasi berbeda. Si petugas itu dan Agus Salim, nampak tiba-tiba akrab sekali. Mereka
bahkan berbincang sambil tertawa-tawa. Beda ketika Baswedan bernego tadi, yang
ada hanya muka si petugas yang ketus dan tidak bersahabat.
Agus Salim kemudian menghampiri anggota delegasi lainnya. Ditemani
oleh petugas tadi.
“Saya tidak tahu kalian bersal dari Jawa. Maaf kan tindakan
saya tadi. Silahkan melintas kawan muslimku,” kata petugas imigrasi itu ramah.
“Orang-orang dari tempat kalian banyak menyesaki Mekkah. Kita
bersaudara. Lewatlah lewatlah,”.
Ternyata, Indonesia memang belum dikenal. Namun jika
menyebut Bilad Jawa, Negeri Jawa, mereka langsung paham. Hingga akhirnya
Indonesia mendapat pengakuan de jure
dari Mesir, yang menjadi pintu pembuka bagi negara-negara lain untuk melakukan
hal yang sama.
Dan kini, Indonesia sudah menjadi negara besar. Haji Agus
Salim, yang hingga akhir hayatnya memilih hidup sederhana, tanpa memiliki
rumah, memiliki peran besar untuk utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Comments