Bambang Soesatyo (menunjuk), bersama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla membayar zakat di Istana Negara |
Undang-undang (UU) Anti-Terorisme yang telah disahkan DPR itu menjadi pilihan final anak bangsa untuk menjaga dan mempertahankan kodrat Ibu Pertiwi. Sejarah peradaban nusantara mencatat bahwa ibu pertiwi selalu merawat dan memangku kebhinekaan, karena padanya melekat kodrat bunda semua SARA, yakni bunda semua suku, bunda semua agama, bunda semua ras dan bunda antar-golongan yang lahir dan hidup di negara ini.
Kemudian, patut untuk digagrisbawahi oleh setiap elemen bangsa kalau sejarah juga sudah membuktikan bahwa untuk alasan apa pun, Ibu Pertiwi selalu menolak jika putra-putri bangsa yang lahir dari rahimnya tercerai berai atau lepas dari ikatan kebangsaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap jelas dan tegas Ibu Pertiwi itu sudah tercemin dari catatan tentang sejarah pemberontakan di Indonesia.
Maka, UU Anti-teorisme yang baru disahkan itu memang sangat diperlukan untuk menjaga ikatan itu. Mengapa? Karena ikatan kebangsaan kita sedang menghadapi ujian berat. Lebih setengah abad setelah tragedi G30S PKI pada 1965, kodrat NKRI dalam pangkuan ibu peritwi dan Pancasila, kembali menghadapi rongrongan. UU Anti-Teorisme menjadi payung hukum bagi TNI-Polri merespons rongrongan itu.
Tidak berlebihan ketika mengatakan ujian bagi NKRI dan Pancasila dewasa ini cukup berat. Sebab, rongrongan atau ujian itu bukan dimunculkan oleh lawan dari luar, melainkan justru oleh putra-putri yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi. Sudah menjadi fakta bahwa, ada elemen-elemen dalam masyarakat yang ingin mengingkari kodrat Ibu Pertiwi, dengan coba mencabik-cabik kebhinekaan bangsa ini dan juga menolak Pancasila. Kebinekaan kebangsaan Indonesia dalam naungan NKRI dan Pancasila ingin diganti dengan pola atau dasar bernegara lainnya.
Maka, sebagaimana panggilan sejarah yang telah direspons dengan sangat efektif oleh generasi terdahulu, putra-putri Ibu Pertiwi generasi terkini pun harus merespons rongrongan terhadap NKRI dan kodrat Kebhinekaan Indonesia. Respons itu sudah ditunjukan dengan keputusan DPR mengesahkan UU Anti-Terorisme. UU ini mendapatkan dukungan solid dari berbagai berbagai kalangan dengan ungkapan “NKRI dan Pancasila Harga Mati”. UU dengan muatan seperti ini memang diperlukan karena Kebinekaan NKRI serta Pancasila mulai dirongrong oleh para teroris yang membawa ideology lain.
Seperti diketahui, pada rapat paripurna, Jumat (25/5) di Jakarta, DPR telah mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme) menjadi UU. Ini merupakan respons cepat putra-putri bangsa atas rangkaian serangan teroris di beberapa kota sejak pekan kedua Mei 2018, yang dimulai dari krisis di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, kemudian rentetan serangan bom di Surabaya dan Sidoardjo hingga serangan senjata tajam di Mapolda Riau.
Rangkaian serangan itu tidak berdiri sendiri. Pun bukan sekadar ancaman berkelanjutan. Semua itu merupakan aksi unjuk kekuatan dari sel-sel teroris yang selama ini tidur. Sel-sel teroris itu tidak sekadar tidur, tetapi sedang membangun kekuatan untuk merealisasikan tujuan besar. Mereka terlanjur menghayati ideologi yang bertentangan Pancasila. Mengadopsi ideologi lain, mereka mengakhiri kodrat kebhinekaan Indonesia. Mereka ingin membangun basis teroris di dalam negeri, untuk kemudian mewujudkan sebuah komunitas atau negara sesuai ideologi yang mereka hayati. Sebab, mereka sudah sampai pada penilaian bahwa kebhinekaan Indonesia dan Pancasila adalah kafir. Mereka bertekad untuk merubah pijakan filosofis hidup kebangsaan dan kenegaraan rakyat Indonesia.
Maka, menjadi sangat wajar Kalau kemudian pemerintah dan DPR – bersama TNI, Polri serta BIN – memberikan respons cepat yang mendapat dukungan solid dari sebagian besar masyarakat. Semangat memerangi teroris saat ini adalah panggilan sejarah bagi putra putri Ibu Pertiwi generasi terkini untuk menanggapi tantangan zamannya. Semangat dan tekad saat ini sama dan sederajat dengan respons Putra putri Ibu Pertiwi generasi terdahulu ketika mereka harus menghadapi dan merespons tantangan pada masa lalu.
Memangku Kebhinekaan
Catatan sejarah membuktikan bahwa Ibu Pertiwi sarat dengan pengalaman menghadapi rongrongan. Ibu Pertiwi pun mencatat bahwa putra putri yang dilahirkannya tidak pernah tinggal diam saat rongrongan itu mulai berusaha mencabik-cabik kebhinekaan. Dan, sejarah juga mencatat bahwa anak-anak bangsa selalu tampil sebagai pemenang. Itu sebabnya hingga abad ini, kebhinekaan NKRI selalu terjaga dan nyaman dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Lihatlah catatan sejarah yang berkisah tentang kelompok-kelompok yang ingin memutus ikatan kebangsaan dan mengingkari kebhinekaan. Dimulai dari peristiwa atau pemberontakan Madiun pada 1948 yang diprakarsai oleh Muso. Kemudian pemberontakan DI/TII pada Agustus 1949 yang dipimpin oleh Kartosoewiryo. Situasi negara pada era itu memang jauh dari kondusif, karena pada Januari 1950 terjadi peristiwa APRA di Bandung . Gerakan ini dipimpin mantan Kapten KNIL Raymond Westerling dan ingin mengkudeta Presiden Soekarno.
Masih di tahun 1950, Andi Aziz memimpin sebuah pemberontakan di Ujung Pandang karena ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur. Pada bulan November di tahun yang sama, Soumakil memimpin sebuah perlawanan untuk membentuk RMS di Maluku. Setelah itu, terjadi pemberontakan DI/TII yang dipimpin Daud Bureuh. Dan pada Maret Maret 1957, muncul lagi gerakan pemberontakan dengan sandi Perjuangan Semesta atau Permesta di Sulawesi. Dan, pada 1965, rakyat dan militer Indonesia bergerak bersama menumpas komunisme di Indonesia yang kemudian dikenang sebagai tragedi G30S PKI.
Semua rongrongan atau pemberontakan itu berhasil digagalkan. Maka, kalau pada tahun-tahun terakhir ini ada sentimen untuk mengubah halauan dan dasar negara, bisa dipastikan bahwa putra putri Ibu Pertiwi tidak akan tinggal diam. Seperti generasi pendahulu, mereka pun akan turun dari pangkuan Ibu Pertiwi untuk menumpas para pemberontak. UU Antiterorisme yang akan segera diberlakukan itu menjadi payung hukum untuk menghadapi kekuatan-kekuatan yang coba merusak kebhinekaan dan NKRI.
Pemahaman atas urgensi UU Antiterorisme, termasuk pelibatan TNI, jangan sepotong-sepotong. Jangan juga meremehkan ancaman. Sebaliknya, pemahaman mengenai ancaman terhadap kebhinekaan dan NKRI dewasa ini haruslah komprehensif. Sel-sel teroris yang tidur selama ini tidak sendiri. Mereka terus membangun sinergi dengan sel-sel teroris di negara lain, terutama mereka yang telah angkat kaki dari Suriah dan Irak. Setelah gagal dalam upaya membangun basis di Marawi, Filipina Selatan, Indonesia menjadi target berikutnya yang paling potensiel di kawasan ini.
Bagi TNI, Polri dan BIN, target komunitas teroris untuk menjadikan Indonesia sebagai basis ISIS bukanlah isu baru. Tetapi, selama ini, baik Polri maupun TNI harus menahan diri karena UU membatasi aksi penindakan terhadap para terduga teroris. Pembatasan itu menyebabkan para terduga teroris leluasa bergerak, membangun jaringan dan simpatisan, termasuk leluasa belanja bahan baku untuk merakit bom. Serangan bunuh diri di Surabaya dan Riau baru-baru ini bisa diasumsikan sebagai akibat dari keleluasaan bergerak para terduga teroris di dalam negeri.
Kini, Polri dan TNI sudah memiliki payung hukum untuk merespons ancaman teroris di dalam negeri. Kendati begitu, Polri dan TNI sangat mengharapkan dukungan dari masyarakat. Bukan dengan tindakan main hakim sendiri, melainkan dengan meningkatkan kepdulian, kewaspadaan dan berbagi informasi atas segala sesuatu yang mencurigakan di lingkungan masing-masing.
Pada 28 Oktober 1928, Ibu Pertiwi mendorong putra putrinya dari seluruh pelosok nusantara untuk berikrar dan bersumpah setia kepada NKRI dalam forum Sumpah Pemuda; bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia dan dengan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar kesetiaan itu harus dijaga dari waktu ke waktu agar Ibu Pertiwi nyaman memangku kebhinekaan dalam naungan NKRI.
Itulah kewajiban sekaligus panggilan tugas sejarah yang dibebankan kepada generasi Indonesia terkini. NKRI dan kebhinekaan harus bebas dari ancaman, termasuk ancaman teroris yang ingin mengubah dasar negara Pancasila.
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/
Dewan Pakar Majelis Nasional
KAHMI 2017-2022
Comments