Di media sosial, beredar capture bahwa Joko Widodo sebagai patahana yang maju lagi sebagai calon Presiden 2019-2024, harus mundur. Sehingga ada yang mengatakan, "Tak perlu mendesak Jokowi mundur karena bukan lagi Presiden". Pernyataan itu berdasarkan capture yang beredar itu.
Lalu, benarkah harus demikian? Bagaimana konteks hukumnya dan penjabarannya? Berikut penjelasan pakar hukum tata negara yang juga Ketum Partai Bulan Bintang (PBB) Prof Yusril Ihza Mahendra:
Siaran Pers:
YUSRIL: PRESIDEN TIDAK HARUS BERHENTI ATAU CUTI KETIKA MENJADI PETAHANA
Jakarta 8/9/2018. Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa bagi Presiden yang menjadi petahana tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Pengaturan tentang keharusan mundur atau cuti itu tidak ada di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Bab yang mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini tidak saja berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden petahana di negara kita.
Dalam Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, memang diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya. Namun ketentuan itu tidak berlaku bagi Presiden sebagai petahana. Di media sosial kini beredar copy Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2018 itu disertai kata-kata “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga”. Padahal UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017.
Yusril menegaskan bahwa tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu adalah aturan yang benar dilihat dari sudut Hukum Tata Negara. Sebab, jika diatur demikian akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini.
Dia memberi contoh, jika Presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka Presiden wajib digantikan oleh Wakil Presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu diperlukan Sidang Istimewa MPR untuk melantik Wapres menjadi Presiden.
Bagaimana jika Wapres sama2 menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai Capres, maka kedua2nya harus berhenti secara bersamaan.
Kalau ini terjadi, maka Menhan, Mendagri dan Menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru.
Kalau hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di negara kita ini. Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi.
Andai ketika jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya, siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya.
Karena itu Yusril berpendapat bahwa Presiden petahana, Jokowi atau siapapun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti. Berbagai meme yang hanya mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008, padahal UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, adalah meme yang menyesatkan dan berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang.***
Lalu, benarkah harus demikian? Bagaimana konteks hukumnya dan penjabarannya? Berikut penjelasan pakar hukum tata negara yang juga Ketum Partai Bulan Bintang (PBB) Prof Yusril Ihza Mahendra:
Yusril Ihza Mahendra. Sumber: akun twetter Yusril |
Siaran Pers:
YUSRIL: PRESIDEN TIDAK HARUS BERHENTI ATAU CUTI KETIKA MENJADI PETAHANA
Jakarta 8/9/2018. Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa bagi Presiden yang menjadi petahana tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Pengaturan tentang keharusan mundur atau cuti itu tidak ada di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Bab yang mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini tidak saja berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden petahana di negara kita.
Dalam Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, memang diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya. Namun ketentuan itu tidak berlaku bagi Presiden sebagai petahana. Di media sosial kini beredar copy Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2018 itu disertai kata-kata “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga”. Padahal UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017.
Yusril menegaskan bahwa tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu adalah aturan yang benar dilihat dari sudut Hukum Tata Negara. Sebab, jika diatur demikian akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini.
Dia memberi contoh, jika Presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka Presiden wajib digantikan oleh Wakil Presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu diperlukan Sidang Istimewa MPR untuk melantik Wapres menjadi Presiden.
Bagaimana jika Wapres sama2 menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai Capres, maka kedua2nya harus berhenti secara bersamaan.
Kalau ini terjadi, maka Menhan, Mendagri dan Menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru.
Kalau hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di negara kita ini. Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi.
Andai ketika jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya, siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya.
Karena itu Yusril berpendapat bahwa Presiden petahana, Jokowi atau siapapun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti. Berbagai meme yang hanya mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008, padahal UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, adalah meme yang menyesatkan dan berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang.***
Comments