Sekitar 2009 akhir, nekat kembali ke Ibukota Jakarta. Bukan pertama kali, namun kesekian kalinya baik sebelum menyandang gelar sarjana maupun sesudahnya. Sebelumnya mencoba peruntungan di Madura dan Kediri.
Hampir satu tahun, hingga diberi kesempatan bekerja di perantauan yang katanya Ibukota lebih kejam daripd ibu tiri. Entahlah.
Semenjak itu, mudik lebaran yg katanya adalah tradisi, seolah bukan menjadi tradisi bagi saya. Orang-orang mudik, berdesakan antri beli tiket di Stasiun Senen (sebelum sistem online masuk, yg membuat tradisi antri dan bermalam hanya untuk antri), terminal antarkota antarprovinsi, hampir meluber melayani pemudik menuju luar Jawa. Saya dan kebanyakan yg lain, hanya bisa melihat dan meliput.
Bukan tidak mau pulang. Bukan tidak rindu. Bukan itu yang menjadi alasan.
Hingga 2017, keluarga besar di Jabodetabek yg juga anggota arisan, menggelar mudik yg kami sebut 'Lamba Rasa' (menyambangi kampung halaman). Lamba Rasa menggunakan bus, kami menyewa bus besar untuk puluhan keluarga. Untuk pergi ke Bima dan lanjut pulang. Butuh tiga hari perjalanan, begitu juga baliknya.
Tapi saya tak bisa ikut di bus, karena sudah berangkat dari Jakarta pada sekitar H-5 Ied Fitri 2017. Saya masih harus bertugas. Dan H-1 baru bisa pulang menggunakan pesawat.
Takeoff dari Soekarno-Hatta malam hari, baru tiba di Bandara Internasional Lombok NTB sekitar pukul 22.00 WITA. Sudah sampai rumah? Belum!! Butuh 45 menit lagi menggunakan pesawat kecil baling baling atau ATR. Atau kalau mau darat, butuh sekitar 7-8 jam, masih menyeberang Pelabuhan Khayangan Lombok Timur ke Poto Tano Sumbawa yg memakan waktu sekitar 2 jam.
Semua alternatif itu, tidak bisa digunakan. Pesawat ke Bandara Sultan Salahuddin Bima hanya ada flight pagi dan siang. Pesawatnya pun terbatas. Jadi alternatif ini gugur, harus menunggu keesokan harinya. Alternatif darat atau bus pun gugur, karena keberangkatannya siang hingga sore.
Jadilah menginap di salah satu hotel, yg letaknya di pusat kota. Itupun atas kebaikan teman kuliah yg kini menjadi wartawan di negeri seribu masjid itu.
Saya baru bisa flight ke Bima sekitar pukul 14.00 WITA dan landing hampir sejam kemudian, di hari H Ied Fitri 2017 M. Sore di Bima, kamping halaman, nuansa lebaran hampir sudah selesai. Tak sedikit yang kembali beraktifitas di sawah, atau menghabiskan waktu di tempat wisata.
Hanya sekitar 3 hari di kampung, harus kembali ke Jakarta. Lebih cepat, karena menggunakan bus dengan rombongan keluarga besar yang memakan waktu 3 hari. Itulah sekelumit (bukan) tradisi mudik, bagi saya.
Hampir satu tahun, hingga diberi kesempatan bekerja di perantauan yang katanya Ibukota lebih kejam daripd ibu tiri. Entahlah.
Semenjak itu, mudik lebaran yg katanya adalah tradisi, seolah bukan menjadi tradisi bagi saya. Orang-orang mudik, berdesakan antri beli tiket di Stasiun Senen (sebelum sistem online masuk, yg membuat tradisi antri dan bermalam hanya untuk antri), terminal antarkota antarprovinsi, hampir meluber melayani pemudik menuju luar Jawa. Saya dan kebanyakan yg lain, hanya bisa melihat dan meliput.
Bukan tidak mau pulang. Bukan tidak rindu. Bukan itu yang menjadi alasan.
Hingga 2017, keluarga besar di Jabodetabek yg juga anggota arisan, menggelar mudik yg kami sebut 'Lamba Rasa' (menyambangi kampung halaman). Lamba Rasa menggunakan bus, kami menyewa bus besar untuk puluhan keluarga. Untuk pergi ke Bima dan lanjut pulang. Butuh tiga hari perjalanan, begitu juga baliknya.
Tapi saya tak bisa ikut di bus, karena sudah berangkat dari Jakarta pada sekitar H-5 Ied Fitri 2017. Saya masih harus bertugas. Dan H-1 baru bisa pulang menggunakan pesawat.
Takeoff dari Soekarno-Hatta malam hari, baru tiba di Bandara Internasional Lombok NTB sekitar pukul 22.00 WITA. Sudah sampai rumah? Belum!! Butuh 45 menit lagi menggunakan pesawat kecil baling baling atau ATR. Atau kalau mau darat, butuh sekitar 7-8 jam, masih menyeberang Pelabuhan Khayangan Lombok Timur ke Poto Tano Sumbawa yg memakan waktu sekitar 2 jam.
Semua alternatif itu, tidak bisa digunakan. Pesawat ke Bandara Sultan Salahuddin Bima hanya ada flight pagi dan siang. Pesawatnya pun terbatas. Jadi alternatif ini gugur, harus menunggu keesokan harinya. Alternatif darat atau bus pun gugur, karena keberangkatannya siang hingga sore.
Jadilah menginap di salah satu hotel, yg letaknya di pusat kota. Itupun atas kebaikan teman kuliah yg kini menjadi wartawan di negeri seribu masjid itu.
Saya baru bisa flight ke Bima sekitar pukul 14.00 WITA dan landing hampir sejam kemudian, di hari H Ied Fitri 2017 M. Sore di Bima, kamping halaman, nuansa lebaran hampir sudah selesai. Tak sedikit yang kembali beraktifitas di sawah, atau menghabiskan waktu di tempat wisata.
Hanya sekitar 3 hari di kampung, harus kembali ke Jakarta. Lebih cepat, karena menggunakan bus dengan rombongan keluarga besar yang memakan waktu 3 hari. Itulah sekelumit (bukan) tradisi mudik, bagi saya.
Comments