Sinetron Keluarga Cemara, begitu populer di akhir tahun
1990-an. Ia mulai tayang pada 1996. Sosok Abah dan Emak, serta anak-anaknya,
menyentuh hati masyarakat Indonesia.
Sejak tidak tampil lagi sebagai sinetron, pada 2019 Keluarga
Cemara kembali hadir, namun dalam format film. Tentu Abah dan Emak tetap
menjadi simbol penting dari film yang tayang di bioskop itu.
Abah diperankan oleh Ringgo Agus Rahman, sementara Emak diperankan
oleh Nirina Zubir. Penampilan apik mereka di bioskop-bioskop, mampu membawa
film ini dalam deretan terlaris.
Dalam versi film itu, Abah awalnya adalah seorang pengembang
di kota, Jakarta. Namun seluruh hartanya hilang dalam sekejap, akibat bangkrut.
Ia ditipu. Bahkan untuk menghadirkan sisi dramatisnya, kebangkrutan itu timbul di
hari ulang tahun anak pertamanya.
Singkat cerita (karena bisa ditonton sendiri ya, hehehe)
Abah dan Emak kemudian memilih mengungsi ke desa. Rumah tua dan tidak terawat.
Hanya itu yang bisa mereka gunakan dengan kondisi keuangan yang tidak mencukupi
untuk menyewa rumah di kota besar. Itu adalah warisan terakhir.
Dari sinilah mulai pertarungan konflik. Terutama anak-anak
Abah dan Emak. Mereka harus bisa tampil sebagai orang yang tidak mampu.
Padahal, sejak mereka lahir hingga bersekolah, fasilitas dan kekayaan sudah
mereka peroleh.
Abah pun harus menyesuaikan diri. Sebagai bos property, kini
ia harus menjadi pegawai. Bahkan, buruh kasar. Menjadi kuli bangunan, ia
lakoni. Hingga akhirnya menjadi tukang ojek.
Riak-riak konflik seperti itu dalam rumah tangga, akan
selalu ada. Bagi siapapun yang sudah atau akan dan sedang mengarungi kehidupan
dalam keluarga kecil. Terpenting, bagaimana menyikapinya.
Tetapi, bagaimana
kalau keluarga itu jauh lebih besar? Bukan hanya orangtua dan anak-anaknya?
Tetapi hingga ke cucu dan cicitnya? Adakah keluarga besar seperti itu tetapi
mampu menjaga kekompakan, memanagemen konflik dengan baik dan merawat
kebersamaan?
Jawabannya ADA!
(cek keseruannya di link ini: Liburan Asyik Keluarga Zekoso) juga (Link; Tempat Liburan Asyik Keluarga)
Sebagian Keluarga Zekoso, ikut berpartisipasi dalam acara pernikahan salah satu keluarga. |
Ya, namanya Keluarga Zekoso. Zekoso adalah penggabungan dua
kakak-beradik. Yakni (alm) H.Djakariah dan (alm) H.Mansyur. Kedua lelaki itu
berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Tepatnya di salah satu desa, yakni Desa
Dena.Keduanya bukan berasal dari orang kaya seperti Abah dan Emak.
Tetapi
mereka hanya seorang petani miskin di desa terpencil itu. Mereka memiliki anak-anak.
Berpendidikan tinggi, adalah dorongan utama dari kedua orang itu untuk anak-anaknya.
Tidak salah. Anak-anak mereka kemudian menempuh pendidikan
yang tinggi, walau dengan susah payah. Susah untuk mendapatkan biaya, dan susah
karena fasilitas pendidikan zaman dulu, apalagi di daerah terpencil. Tidak
seperti di kota yang begitu mudah diperoleh.
Anak-anak dari mereka berdua, merantau ke Ibukota. Mereka
mengabdi di Jakarta dan sekitarnya. Beragam profesi, pelukis, wiraswasta, guru,
hingga pegawai pemerintahan. Di Ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri
itu, anak-anak mereka ini menghuni wilayah yang berbeda-beda, berpencar-pencar,
tidak seperti Abah dan Emak yang satu rumah.
Singkat cerita, anak-anak H.Djakariah dan H.Mansyur itu
tumbuh. Berkeluarga, memiliki anak, dan saban waktu berkumpul bersama, sebagai
satu keluarga dari darah dan rahim yang sama, dari satu rumpun pada kakek-buyut
yang sama.
Makin besarnya Keluarga Zekoso ini, kedua orang itu
(H.Djakariah dan H.Mansyur) menjelma menjadi kakek, hingga buyut dan entah apa
namanya setelah itu. Karena semakin besar keluarga ini, maka muncullah
inisiatif membuat arisan keluarga.
"Arisan pertama itu dimulai tahun 1985," ujar
H.Yunus H.Djakariah. Beliau adalah kakak tertua dari Keluarga Zekoso yang ada
di Jakarta. Sebagian memilih tetap di kampung halaman, Desa Dena, Bima.
Rentan 1985 hingga 2019 ini, arisan sebagai wadah berkumpul
rutin tiap bulan itu tetap berjalan. Tidak pernah berhenti sedikit pun. Dan
anggota inti, yakni dari Keluarga Zekoso, tetap eksis di dalamnya.Cucu-cucu
dari H.Djakariah dan H.Mansyur, bahkan kini sudah berkeluarga, memiliki anak
keturunan. Artinya, Keluarga Zekoso saat ini sudah berada di generasi ketiga.
Bayangkan betapa besarnya.
Mungkin banyak keluarga yang sudah pada generasi ketiga,
keempat atau seterusnya. Tetapi, adakah yang bisa tetap bersama dalam satu
wadah berkumpul yang rutin?
Arisan yang dirintis sejak 1985, adalah wadah utama dalam
berkumpul. Tentu hubungan kekeluargaan di luar urusan arisan, juga tetap
terjalin bahkan jauh lebih akrab juga.
Arisan Bukan
Oreantasi Uang
Cara berpikir kebanyakan orang, bahwa arisan adalah salah
satu upaya dalam mendapatkan kapital, uang. Ya, itu bisa dimaklumi dan paham
mindstream adalah demikian. Tapi tidak untuk arisan Keluarga Zekoso.
Uang arisan memang dan pasti diperoleh. Tapi bukan itu
tujuan utamanya. Maka arisan ini tidak dikocok, tetapi diatur penjadwalannya.
Bulan ini misalnya siapa yang dapat, bulan depan siapa. Perputarannya bahkan
sampai dua tahun. Saking besarnya keluarga ini.
Bagi yang butuh di tengah-tengah perjalanan arisan, bisa bertukar
dengan yang lain. Misalnya, karena dia butuh untuk bayar kuliah atau sedang
membangun rumah, sementara jadwal dia masih berbulan-bulan lagi, maka ia bisa
bertukar dengan keluarga yang mendapat jatah di bulan terdekat. Begitu
seterusnya.
Oreantasi utama dari arisan Zekoso adalah kekeluargaan.
Berkumpul sebagai sesama Keluarga Zekoso, itu yang utama. Karena tuan rumah
bergilir, di tempat yang mendapatkan jatah pada bulan itu.
Millenial di Zekoso harus dirawat |
Arisan Keluarga Zekoso, juga tidak semata-mata selesai dapat
uang langsung pulang, tidak. Akan ada pembicaraan-pembicaraan lain yang
dilakukan.
Terutama jika ada agenda keluarga, seperti pernikahan atau yang
lainnya. Maka bukan sekedar arisan tapi juga bermusyawarah untuk agenda itu.
Jika hanya ingin beroreantasi pada mendapatkan uang, anda salah tempat kalau hadir
di Keluarga Zekoso!!
Rasanya tidak ada di dunia ini, sebuah arisan keluarga yang
bisa membawa keluarga besarnya hangout (biar kerena dikit) ke villa.
Diantara generasi ketiga Zekoso |
Bahkan,
tidak hanya satu villa yang disewa. Berapa uang patungannya? Nothing alias
tidak ada. Anggota Keluarga Zekoso tinggal datang ke lokasi, makan dan tidur
gratis. Dari mana ongkosnya? Silahkan pembaca cari tahu jika penasaran dengan
ini.
Pada 2017, bahkan Keluarga Zekoso berhasil membuat program
mudik alias pulang kampung ke Bima NTB. Program ini dinamakan lamba rasa
(menyambangi kampung halaman). Sebab ada anggota keluarga yang belum pernah ke
sana, atau bahkan puluhan tahun tidak menginjakkan kaki lagi ke kampung kakek
buyutnya.
Dengan program itu, mereka bisa pulang kampung di saat Idul
Fitri.Pasti mahal? Tentu tidak. Bahkan, bisa menghemat 50 persen lebih anggaran
kalau pulang mandiri. Meskipun menggunakan bus dan memakan waktu hingga 3 hari,
tetapi di situlah makna kekeluargaannya. Bukan soal ongkos yang murah meriah
saja.
Tapi tak apa kita kupas sedikit soal ongkos. Ongkos yang
kurang 50 persen dari harga normal kalau pulang ke Bima, ditambah dengan
konsumsi gratis selama perjalanan. Lalu, keunggulan lainnya adalah di dalam bus
satu keluarga semua sehingga kita bebas bertukar, bahkan tidur di lorong bus
pun bisa. Rasanya, susah mendapatkan keluarga besar yang sudah sampai generasi
ketiga, untuk tetap akur dan mampu membangun kebersamaan tanpa oreantasi
materi. Mampu bergotong royong dengan pemahaman bahwa 'Dia adalah keluarga
kita', 'Kami adalah keluarga harus saling menolong', kami dan kami, bukan
ke-aku-an sebagai sikap individualisme.
Konflik
Rasanya agak angker kalau kita mendengar satu kata ini.
Tetapi, dimanapun, dalam komunitas apapun, konflik pasti akan selalu muncul.
Seperti tadi, Keluarga Cemara yang tergolong kecil dibandingkan Keluarga Zekoso
karena hanya Abah, Emak dan anak-anaknya saja ada konfliknya.
Menyatu sebagai bagian yang tak terpisahkan |
Dalam perkumpulan, organisasi, hingga perusahaan sebesar
apapun, pasti akan ketemu konflik, apakah itu skalanya besar atau kecil.
Indonesia sebagai negara besar dengan beragam suku, agama dan budaya, juga
tidak terlepas dari konflik.
Namun, selama konflik itu tidak sampai merusak rumah
besarnya, itu berarti masih pada level terkendali dan managemen konfliknya bisa
dibilang berjalan dengan baik.
Sebagian perempuan Zekoso |
Keluarga Zekoso bukan berarti tidak ada konflik. Ada, dan
bahkan riak-riak itu tanpa disadari muncul seketika. Kadang muncul ke permukaan
dan meletus, setelah terendus-endus di bawah, dari pribadi-pribadi. Terlebih
perselisihan itu menyangkut rasa, menyangkut hati, bahkan prasangka-prasangka.
Kadang dari sinilah timbul konflik yang membesar. Sebuah prasangka yang terus dirawat
dipelihara, dan endapannya bisa menjadi lahar yang jika keluar susah untuk
ditutup kembali. Walau kadang, prasangka itu tidak benar, salah kaprah, atau
sebenarnya bisa diurai hingga kemudian diselesaikan dengan segera.
Riak-riak itu sebenarnya bisa menjadi sumber perpecahan yang
dahsyat. Bisa menghancur leburkan rumah besarnya, jika semua yang menanam
prasangka itu memilih menutup diri.
Bisa membuyarkan Keluarga Zekoso jika tidak ada yang menjadi
penengah, atau setidaknya ada pihak-pihak yang bisa menahan diri, tidak ikut
terlibat dalam kubu-kubu yang berkonflik.
Lempar-lempar happy |
Toh, di tengah riak-riak konflik itu, Keluarga Zekoso masih
full team jika berkumpul untuk arisan keluarga. Bahkan, saat hangout dua hari
di kawasan Sentul Bogor beberapa pekan lalu. Artinya, konflik itu masih bisa
di-managemen dengan baik, karena tidak merusak rumah besarnya yakni Keluarga Zekoso.
Tidak mudah untuk mempertahankan ini. Di tengah-tengah jiwa
sosial yang mulai meredup seperti di kota-kota besar, Keluarga Zekoso masih
bisa mempertahankan kekeluargaan yang berasaskan gotong royong dan sebagai satu
keluarga itu.
Keluarga Gotong
Royong
Sikap gotong royong, adalah nilai dasar yang digali dan
diangkat oleh founding fathers, bapak
bangsa kita. Namun disadari atau tidak, sifat-sifat ini mulai redup. Redup oleh
sikap materialistik akut. Hampir tidak ada ruang kompromi untuk yang namanya
gotong royong, bersama-sama. Semua dinilai dari sisi kapital, uang.
Tapi untungnya, Keluarga Zekoso masih bisa mempertahankan
yang namanya gotong royong itu. Ah yang benarkah? Masa sih??
Saat ada anggota keluarga meninggal atau sakit, maka
Keluarga Zekoso turut memberi santunan. Hal sederhana tapi bentuk perhatian seperti
ini yang semakin mengakrabkan. Itu tadi, bukan soal materi yang diberikan tapi
justru perhatian sebagai sesama keluarga, itulah yang lebih membekas.
Kadang kita terpukau dengan materi yang banyak, padahal
tidak selamanya membahagiakan. Artinya, materi bukan faktor penentu. Mengingat
manusia tetaplah manusia, yang memiliki sifat dasar sebagai mahluk sosial.
Dan sebagai
mahluk sosial, maka manusia itu membutuhkan manusia lain dalam organisasi yang
bisa menghargai keberadaannya, eksistensinya.Ada hajatan seperti nikahan atau acara
lain yang serupa misalnya. Tidak perlu ragu.
Because we are the big family |
Maka otomatis Keluarga Zekoso akan
membentuk panitia, bak penyelenggara acara atau event organizer (EO)
profesional, memainkan perannya mengatur dan merancang sebuah acara. Bayaran?
Tentu tidak. Karena kami keluarga besar.
Walau sudah ada EO sekalipun, Keluarga Zekoso tetap ikut
menjadi bagian. Minimal mengorganisir internal agar tetap kompak, bersama-sama.
Membantu hal-hal yang rasanya tidak bisa mengandalkan EO semata. Karena
bagaimanapun, kita memiliki ciri khas, budaya, yang tidak bisa diatur dan
ditiru oleh pihak lain. Itu fakta.
Comments