Oleh: Agus Rahmat, penulis adalah orang biasa.
Politik kadang kala - bahkan bisa dibilang sering –
dipersepsikan lebih praksis. Definisi ‘cara merebut/memperoleh/mempertahankan
kekuasaan´ disematkan di dalamnya. Apalagi menyangkut politik pemilihan umum.
Maka, ketika politik lantas dipersepsikan seperti itu, kita
tidak akan heran jika yang dominan muncul dan menjadi jualan utama dalam
politik kekuasaan itu adalah personal politisinya. Politisi A harus menjadi
pemimpin, politisi B harus menjadi bupati, dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan
tak jarang, keributan politik hingga merembet pada keributan sosial, berasal
dari perdebatan, perselisihan akibat personal politisi tertentu.
Baik, kita memahami itu. Tapi saya tidak ingin terjebak pada
personal, siapa yang layak memimpin Bima ke depan. Butuh yang baru atau
melanjutkan yang sudah ada, bagi saya itu hal kesekian. Ada pilotnya tapi tidak
tahu arah, percuma juga kan.
Kita bicara dalam konteks Bima, Dana Mbojo dalam lingkup yang lebih spesifik lagi. Jelang-jelang
pemilu misalnya. Jagat massa, dari media sosial hingga obrolan warung kopi,
akan hiruk pikuk soal si A yang layak jadi pemimpin. Kelompok penentangnya
mengatakan, si B yang layak karena si A terbukti gagal. Datang lagi bak
pahlawan kelompok lain, ini saya tawarkan alternatif C dia akan memenuhi
keinginan kita. Dan seterusnya….
Berbicara Bima, tentu tidak akan pernah habisnya. Apalagi jika
berbicara janji-janji politik, yang sering dan urung terlaksana. Sebab melaksanakan
pembangunan, tentu harus menyesuaikan dengan anggaran daerah yang baik, tinggi.
Mengharapkan pemerintah bisa membangun dari ujung ke ujung dengan anggaran yang
pas-pasan, tentu juga tidak masuk akal.
Maka di sinilah perlunya kita memahami politik anggaran. Berapa
besar sih APBD Kabupaten Bima itu? Dari sekian miliar rupiah, berapa alokasi
untuk infrastruktur, pendidikan, kesejahteraan sosial? Atau lebih banyak anggaran
itu untuk belanja pegawai? Kalau yang terakhir jawabannya, maka berharap kue pembangunan
sampai ke masyarakat secara merata, rasanya susah.
Membicarakan politik anggaran saja, akan membutuhkan energi
yang tidak sedikit. Melakukan reformasi politik anggaran, tentu juga akan
membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah. Kenapa? Jika mayoritas
anggaran (APBD) hanya untuk belanja pegawai, dan diubah pada fokus alokasi untuk
pendidikan, maka sektor yang lama itu mau tidak mau akan terbengkalai. Tapi bisakah
pemimpin melakukan itu? Bagi saya, masyarakatlah yang harus mendorongnya.
Masih dengan contoh di atas, bahwa alokasi anggaran (APBD)
lebih fokus ke belanja pegawai. Lalu, ini misalnya, karena tuntutan masyarakat
mengharuskan pemimpin itu fokus ke pendidikan, maka politik anggaran dialihkan
dan difokuskan ke sana.
Apa saja yang bisa dilakukan dengan fokus itu? Tentu kita
akan berbicara lebih teknis pada point-point mata anggarannya. Seperti,
pemerintah daerah menggaji guru ngaji, geliat kelompok belajar dimasifkan dan
difasilitasi pemerintah, ruang-ruang baca disediakan. Anggarannya, dari
anggaran pemerintah yang dialokasikan tadi. Ini contoh kita berbicara soal
politik anggaran. Saya tidak ingin masuk jauh ke teorinya.
Jika membedah semuanya, rasanya kita tidak akan habis dalam
berlembar-lembar halaman kertas….
Maka, bagi saya, marilah kita berperang ide dan gagasan. Bukan
sekedar mengunggulkan personal dengan beragam bunga-bunganya, embel-embelnya,
tapi miskin solusi. Bima membutuhkan solusi yang baik, bukan menebar
ketidaksukaan pada lawan dengan menjatuhkan personal orang.
Apalagi dengan kata-kata yang rasanya tidak pantas bagi dou Mbojo mengutarakan itu. Buat apa
tumpah darah, hilang persahabatan, putus silaturahim hanya demi menjagokan
calon yang diusung tetapi tidak ada visi, misi, dan terobosan konkrit dalam
membangun dana ro rasa nya!?
Wallahualam.
Fastabiqul khairat
Comments