Mencintai Tidak Harus Memuji, tapi Mengkritik Adalah Bagian Dari Mencintai.
Oleh: Agus Rahmat
Prinsip dalam mengkritik ini,
ditanamkan pada kami saat baru menjadi kader di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
atau IMM Komisariat FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. Dinamisnya organisasi
itu membuat kritik-kritik tajam meluncur deras, tanpa malu-malu.
Kritik sejatinya adalah suplemen
tambahan, atau bahkan suplemen pengingat. Dalam iklim demokrasi, tentu kritik
menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam sistem politik dan kekuasaan,
kritik pun harusnya menjadi bagian terpenting. Sebagai sebuah fungsi check and balance terhadap jalannya
sebuah rezim.
Kritik akan membuka
persoalan-persoalan, baik yang sengaja tersimpan rapi maupun yang tidak
diketahui. Maka ketika kritik dirawat, terintegral dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka secara tak langsung kita juga menjaga negara dari praktik
korupsi hingga praktik otoritarian.
Membangun Oposisi
Oposisi (penyeimbang) yang kita
kenal dalam sistem demokrasi, termasuk yang diterapkan di Indonesia tentu harus
identik dengan kritik. Jangan mengaku oposisi kalau kritik saja tidak
dilontarkan, mungkin begitu pemahamannya.
Komposisi antara koalisi dengan
oposisi untuk pemerintahan lima tahun mendatang, kasat mata bisa kita lihat
tidak berimbang. Di parlemen misalnya, di sana lebih dari 50 persen fraksi
adalah pendukung pemerintah. Seperti Fraksi PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan
yang masuk belakangan adalah Gerindra. Sementara
di luar pemerintahan tersisa Demokrat, PAN dan PKS.
Tentu jika mengandalkan tiga partai
itu sebagai penyeimbang jalannya pemerintahan, rasanya tidak cukup. Pemerhati politik
Indo Strategis Arif Nurul Iman mengatakan, tidak ada keseimbangan jika hanya partai
itu yang menjadi oposisi atau penyeimbang.
Dengan kondisi demikian, rasanya
tidak bisa juga kita hanya mengandalkan kekuatan oposisi yang minimalis
tersebut. Perlu dibangun kesadaran publik, akan pentingnya nalar kritis
terhadap jalannya pemerintahan. Disamping, kita juga harus kritis terhadap
partai oposisi, jangan sampai hanya mengambil untung dengan momentum ini tanpa benar-benar
berjuang dan kritis terhadap pemerintahan.
Melihat partisipasi politik
masyarakat, rasanya sangat bisa membangun kesadaran kritis itu. Di tengah-tengah
instrument politik yang tidak imbang seperti sekarang ini. Namun perlu
diperhatikan, bahwa literasi politik kita tentu perlu diperdalam.
Beberapa kasus seperti hoaks,
kebencian akut terhadap pribadi tertentu atau kelompok tertentu, rasanya tidak
bisa dipungkiri lantaran literasi politik yang belum tuntas. Perbedaan pilihan,
perdebatan politik elit, kadang terlalu kita bawa pada pilihan antara hitam dan
putih. Padahal politik juga berbicara soal opsi yang beragam, dan kerap berubah
sesuai dengan kepentingannya masing-masing.
Memahaminya hanya sebagai hitam
dan putih, sehingga mengakibatkan terbentuknya friksi-friksi di tengah-tengah
masyarakat. Sayangnya, friksi-friksi itu cenderung tidak sehat.
Akibatnya, partisipasi politik
masyarakat bukan lagi soal substansi. Kebenaran politik yang mereka pahami kadang
bersumber dari kabar bohong. Lalu dukungan fanatik, apalagi dicampur dengan
dalil-dalil keagamaan.
Bukan Pemfitnah dan Pembenci
Polarisasi politik praktis pada
pemilu presiden baik 2014 dan 2019, telah membawa kita pada pemahaman identitas
demokrasi yang baru. Menguatnya politik agama, menguatnya kelompok politik di
luar partai politik, hingga pada pemahaman demokrasi, membuat perubahan peta politik
di Tanah Air.
Disadari atau tidak, kesadaran
politik tidak lagi menjadi milik elit partai atau kelompok politik tertentu. Tetapi
kesadaran itu muncul bahkan dari masyarakat yang awalnya apatis terhadapnya. Lahir
menembus ruang-ruang privat masyarakat itu sendiri. Sehingga politik bukan saja
menjadi pembicaraan di warung kopi, di gedung-gedung parlemen. Tetapi juga
masuk dalam forum-forum keagamaan.
Politik semakin mampu menembus
ruang-ruang private, lantaran didukung perkembangan teknologi. Akses informasi,
akses analisis mengenai politik tidak perlu lagi harus membuka layar televisi
yang menampilkan perdebatan atau analisa politik. Kadang analisa itu disebarkan
melalui perangkat elektronik. Sebut saja lewat WhatsApp (WA) .
Penyebaran informasi yang sangat
massif ini, suka atau tidak suka membuat partisipasi politik di tengah-tengah
masyarakat semakin bergairah. Catatan Komisi Pemilihan Umum atau KPU,
partisipasi pemilih pada pemilu 2019 mencapai puncaknya yakni 81 persen. Jumlah
partisipasi ini terus meningkat dari pemilu-pemilu sebelumnya. Pada 2014,
partisipasi pemilih untuk pemilu presiden mencapai 70 persen. Sementara di
tahun yang sama untuk pemilu legislatifnya 75 persen.
Rasanya kita tidak bisa
menghindar, meningkatnya partisipasi politik itu berbanding lurus dengan
perkembangan teknologi. Penyebaran informasi, termasuk yang bersifat politik,
begitu mudah. Media sosial seperti facebook hingga twitter, bukan saja menjadi ajang
interaksi. Tetapi juga menjadi wadah bagi mereka yang memiliki oreantasi
politik tertentu untuk menyebarkan paham politiknya.
Maka membangun jiwa kritis
publik, rasanya tidak terlalu sulit karena hambatan-hambatan yang selama ini ada,
bisa dihilangkan. Hanya yang menjadi catatan, partisipasi politik adalah
politik kebangsaan, bukan politik kebencian yang membuat kita malah mundur
jauh, bukan semakin maju dan matang.
Comments