Kue cucur, atau dalam bahasa daerah kami adalah 'kalempe kala', begitu digemari. Kue ini dibuat saat subuh hari, dan biasanya ludes bersamaan dengan matahari yang mulai meninggi dikala pagi.
Tidak banyak orang yang menjuel kalempe kala, saat itu. Belum menjadi sebuah industri yang menguntungkan bagi generasi. Tapi nampaknya kalempe kala, kue cucur ini begitu bersejarah bagi orang-orang di kampung kami. Hampir semua yang membuat sekaligus menjualnya, adalah mereka yang sudah lansia.
Desa kami, bernama Dena. Sebuah desa yang kini secara administratif masuk di Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kalau dari sejarah, desa ini memiliki peran dalam ikut membantu dan mengusir penjajah yang dilakukan oleh Kesultanan Bima kala itu. Terkenal dengan sejarah 'Perang Dena'.
Baca: Kangen-kangenan Jokowi Dengan Jan Ethes dan Sedah Mirah Lewat Video Call
Nah, yang menjual kalempe kala di dekat rumah kami saat itu berjarak sekitar 500 meter. Namanya Nenek Madu. Yang masih menjual dan membuat kue itu sudah sangat jarang. Kalaupun ada, itu adanya di pojok-pojok kampung, jadi tidak ada pilihan penjual lain.
Rumah beliau adalah rumah panggung. Di bagian depan, ditambahkan ruangan dengan bilik dari anyaman bambu dan beralaskan tanah. Hanya beralaskan bale-bale (bahasa Bima nya sarangge) besar untuk duduk dan beraktifitas. Di situ Nenek Madu, disaat orang masih terlelap tidur, beliau sudah asyik menggoreng kalempe kala ini. Tapi kadang di belakang, di bagian dapur.
Untuk bisa mendapatkan kalempe kala itu, saya harus subuh-subuh ke rumahnya. Ketika itu masih umuran Sekolah Dasar. Tapi saya termasuk anak yang sudah cukup rajin untuk shalat subuh di Masjid Baitusyuhada, masjid besar yang cukup dekat dengan rumah kami.
Baca juga: (Bukan) Tradisi Mudik
Saya juga masuk kategori penggemar berat kue ini, kue yang konon katanya berasal dari Jawa dan Sulawesi. Karena itu, keinginan besar saat itu adalah setiap pagi tersedia kalempe kala dan bisa saya lahap hingga kenyang. Kadang saya menangis dan memarahi ibu, jika keinginan makan kue tidak dipenuhi. Saya kerap dimarahi jika sudah merengek minta dibelikan kue itu.
Pernah karena keinginan makan kalempe kala tapi tidak dikabulkan ibu, saya nekat mengambil beras rumah untuk ditukarkan dengan kue. Saat itu, beras seukuran kaleng blueband yang besar, yang katanya seukuran 1 kg, saya ambil diam-diam di karung dapur rumah. Beras untuk kebutuhan sehari-hari sebenarnya.
Biasanya saya ambil itu sebelum shalat subuh. Jadi usai subuhan di masjid, saya bergegas kembali ke rumah, mengambil beras itu, lalu membawa ke rumah Nenek Madu.
Saat itu, untuk beberapa kasus, sistem barter (jual beli dengan tukar menukar sesama barang) masih berlaku. Meski mata uang sudah ada tentunya. Saya bersukur masih bisa merasakan era barter itu. Beberapa kali ibu atau tetangga di kampung kami, membarter beras mereka dengan ikan atau sayuran yang dijual emak-emak dari kampung lain. Untuk ikan atau sayur ditukar dengan beras berapa kilo, itu tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Dengan kaleng itu, saya membawa ke rumah Nenek Madu, yang hanya diterangi lampu tempel, asyik menggoreng kalempe kala atau kue cucur itu. Saya lebih pagi dari orang-orang, karena takut ketahuan. Itupun saya berjalan mengendap-endap menuju tempatnya. Beras di kaleng itu dituang ke dalam wadah yang ada, lalu kalempe kala-nya dimasukkan ke dalam kaleng itu.
Saya sendiri lupa berapa jumlahnya, tapi cukup banyak, penuh kaleng blueband itu. Saya harus berjalan pelan, sambil memakan kue itu. Biar saat tiba di rumah, kuenya sudah habis dan aksi mengambil beras rumah tanpa sepengetahuan itu, benar-benar tidak ketahuan. Dan kejadian itu berulang saya lakukan, walau tidak setiap hari.
Saya pernah dalam kondisi marah berat, saat bangun kesiangan, dan pagi itu gagal makan kalempe kala. Kalau sudah seperti itu, pelampiasannya adalah dengan menangis. Kue itu sudah menjadi candu bagi anak sekecil kami kala itu.
Kadang bapak yang mengajak untuk makan kue itu. Atau saya mengajak bapak, berjalan-jalan ke rumah uwak (kakak bapak), yang tepat berada di seberang rumah Nenek Madu. Hanya dibatasi oleh gang saja.
Jadi jika bapak berkenan ke sana usai shalat subuh, maka wajib menikmati kalempe kala. Walau harus agak lama menunggu karena sudah mulai ramai, tidak sepagi saat saya diam-diam datang membawa beras dan menukarkannya dengan kue itu.
Comments