Setiap 2 Mei akan selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Seremoni yang tak pernah putus setiap tahunnya. Tapi apakah selepas seremoni yang kadang menghabiskan biaya itu, kita mampu memaknainya?
Terkadang kita selesai di seremoni saja. Setelah itu, seperti tidak ada apa-apa. Tidak menggali apa sebenarnya Hari Pendidikan Nasional itu.
Saya hanya ingin bercerita. Bagaimana pendidikan ilmu dan nilai-nilai, ditanamkan. Baik langsung atau tidak, sadar atau tidak.
Saya dan teman-teman saya, menempuh pendidikan di sebuah desa bernama Dena. Secara administratif, kini masuk di Kecamatan Madapangga. Ada di wilayah paling barat Kabupaten Bima, NTB. Secara kualitas pendidikan, Tentu tidak bisa dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya. Tapi saya bersyukur, bahwa kami diberi pendidikan hidup yang luar biasa besar dan banyak.
Pendidikan formal yang kami peroleh, bisa dibilang fasilitasnya sangat minim. Masih terngiang, saat kami mendapatkan jatah buku 'Lembar Kegaiatan Siswa (LKS)' saat masih SMP. Sebuah buku besar dan lebar, yang berisi latihan soal tanya jawab. Ada essai dan ada multiple choice (pilihan ganda). Tapi tahukah anda, itu buku sejak kapan? Itu peninggalan senior-senior kami beberapa tahun jauh di atas kami. Dan masih terus digunakan.
Tidak rusak, tidak. Masih bersih bahkan disampul rapi dengan plastik transparan. Hampir tak ada lecet yang berarti. Buku second tapi kualitas masih lumayan bagus. Karena kami didoktrin "Bukunya dirawat, tidak boleh dicoret-coret karena untuk adik-adik anda nantinya". Kami patuh dengan itu.
Praktis, ilmu pengetahuan formal yang kami peroleh hanya bersumber dari itu. Maka untuk bisa menjelaskan kenapa jawaban ini dan kenapa pilihan itu, hanya dari guru. Sumber bacaan lain? Nihil. Begitu juga dengan buku-buku lain. Baik itu fisika, sejarah, atau matapelajaran yang lain. Buku umum? Dapat dari mana!?
Tidak semua orang desa bisa memahami pelajaran itu. Termasuk saya. Maka tak heran jika nilainya pas-pasan. Masih untuk satu level di atas merah itu sudah lebih dari cukup. Rapor hitam semua meski levelnya hampir merah, patut disyukuri.
Untuk mendongkrak nilai, tak jarang beberapa diantara kami saat itu harus membantu sejumlah guru di sawah. Menanam padi, atau memupuknya, atau saat panen. Ada 'nilai' tambahan yang diperoleh. Setidaknya tidak ada angka merah di rapor. Atau meminimalisir nilai merah.
Ada guru yang begitu keras dan disiplin. Tak akan pernah berpikir panjang untuk menampar hingga menendang kami. Saya diantara korbannya. Bahkan sepertinya seluruh kelas pernah merasakan kerasnya tangan itu menempel tepat di muka kami (profilnya: Hari Guru di Kampung Kami)
Jika tiba matapelajaran dimana beliau sebagai pengampunya, maka kami akan menjadi sangat serius. Dipaksa untuk tahu, dipaksa untuk pintar. Mengandalkan hafalan, mengingat itu adalah sejarah. Gubernur Jenderal VOC pertama, hingga soal kolonialisme lainnya, mesti kami hafalkan. Ulangannya berupa hafalan di kelas. Dilanjut dengan soal tulisan. Ada pelajaran kedisiplinan di luar hafalan-hafalan itu.
Seusai magrib, rumah panggung berukuran 2x3 meter itu penuh sesak. Suara 'alif, ba, ta, tsa...' riuh menggema menghentak di keheningan malam sepi di kampung kami yang gelap itu. Beberapa anak bersongkok hitam, hingga bermukenah, mengerubuti satu lampu tempel. Biar bisa melihat huruf-huruf di dalam kitab suci itu. Yang lainnnya berkerumun di atas kasur, mengikuti hafalan sang guru. Di bawah sudah penuh dengan anak-anak lainnya yang sudah pintar membaca kitab suci.
Tak ada aliran listrik di sana. Tapi di sanalah, cahaya agama tercipta. Sebagai benteng masa depan, benteng menghadapi dinamika hidup dan ujian-ujiannya.
"Dahulu nemba guru kemudian nemba ruma". Begitu falsafahnya. Arti harfiahnya "Dahulukan nyembah guru kemudian Tuhan". Bukan berarti menyembah manusia bernama guru. Namun maknanya adalah bergurulah, carilah guru agar kamu sekalian mengenal Tuhan. Lewat guru lah, kami mengenal siapa Tuhan kami. Mengenal artinya memahami secara utuh.
Apa yang ingin saya katakan? Ya, merekalah yang semuanya menjadi pendidik. Yang ada di level formal, yang ada di level non-formal. Mereka yang berhak mendapat, memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tidak sekedar pendidikan formal, tetapi non-formal semestinya masuk kategori itu.
Seperti yang selalu diutarakan banyak orang, "Ilmu tanpa iman itu kurang", atau almarhum KH Hasim Muzadi pernah berkata "Di Indonesia banyak orang pintar tapi kekurangan orang benar" begitu kira-kira.
Pintar adalah kemampuan keilmuan yang diperoleh dari pendidikan formal. Menjadi orang benar juga bisa diperoleh atau bahkan diperkuat dari lingkungan non-formal.
Apakah dengan fasilitas pendidikan formal, membuat orang-orang di tempat kami tidak bisa berprestasi? Menjadi bodoh dan kalah bersaing dengan mereka yang notabene mendapatkan pendidikan terbaik? Banyak dari orang-orang itu, dari kampung kami, yang berkiprah bagus, pekerja keras, mendapat posisi yang lebih baik, hingga menjadi pejabat di negara ini. Ilmu dan amal mereka sudah ditempa sejak dini, sejak dari kampung.
Tugas Negara
Hari Pendidikan Nasional harus juga dimaknai secara luas. Karena mendidik adalah holistik. Pendidikan pertama tentu keluarga, setelah itu lingkungan pendidikan formal, namun jangan lupa lingkungan luar, di luar keluarga dan formal.
Tugas negara membangun sistem pendidikan. Memajukan dan memastikan pendidikan formal berjalan dengan kualitas yang lebih baik. Lalu bagaimana pendidikan non-formal? Sejatinya Negara masih punya peran lain di situ. Membangun iklim pendidikan non-formal tetap eksis berjalan. Toh negara sendiri kelak yang mendapatkan manfaatnya.
Negara dalam hal ini adalah keseluruhan institusi pemerintah, dari pusat hingga daerah, bahkan sampai pada unsur yang paling kecil di tingkat desa. Wujud Negara di lingkungan wilayah kabupaten atau kota tentu pemerintahnya. Semestinya memiliki peran besar secara teknis dalam mengatur pendidikan non-formal ini.
Keberlangsungan dan nasib guru ngaji misalnya. Aktifitas pendidikan yang saya ceritakan di atas, rasanya kini semakin langka atau bahkan tidak dijumpai lagi. Tentu tidak akan ada yang mau menjadi guru ngaji kalau kehidupan mereka tidak mendapat perhatian dari Negara. Maka lagi-lagi di situ ada politik anggaran yang mestinya menjadi jawaban.
Kita selalu diributkan pada persoalan kenakalan remaja, peredaran narkoba dan sebagainya. Itu terjadi karena pendidikan kita terlalu besar fokusnya pada lingkungan formal. Abai mengurus di luar itu. Pada akhirnya, anak didik yang lelah dengan lingkungan formal akan mencari pengalaman lain di lingkungan non-formal. Untung jika lingkungan itu baik, tapi kalau tidak?
Kalau lingkungan non-formal seperti tadi tidak dibangun, maka kita akan susah menemukan 'Orang Baik'. Negara yang rugi, masyarakat yang ikut rugi.
Comments