Reshuffle atau mengganti menteri, dalam konstitusi memang menjadi preogratif seorang Presiden. Walau kadang realitanya, faktor x cukup mempengaruhi kebijakan itu. Banyak pakar politik hingga politisi menyebut, karena sistem presidential kita masih setengah. Artinya, keputusan eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan (dalam hal ini presiden) masih ada 'campur tangan' dari kekuatan lain. Politik dan lembaga politik, parlemen tentunya, punya andil di dalamnya.
Baik. Saya tidak ingin berbicara mengenai teori politik. Saya hanya ingin bercerita dan membandingkan. Bercerita mengenai realitas politik yang saya lihat, saya alami dan saya dengar, di republik ini. Realitas reshuffle. Dalam profesi saya, sedikit diuntungkan pernah ditempatkan di DPR dan Istana Kepresidenan. Walau mungkin penglihatan ini bagi orang lain dianggap subjektif atau tidak tepat.
Pada 18 Juni 2020 lalu, untuk pertama kalinya Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma'ruf Amin, menggelar rapat kabinet paripurna. Ya, rapat pertama secara tatap muka lantaran sejak Maret hanya melalui virtual lantaran pandemi Covid-19. Karena berlangsung tertutup, tentu media dan publik tidak akan tahu apa yang terjadi di dalamnya.
Ujug-ujug, video itu dipublish oleh Sekretariat Presiden melalui laman youtube. Tentu itu resmi. Dari tanggal 18 dan baru dipublish tanggal 28 Juni, jeda 10 hari, sebenarnya sudah kadaluarsa dalam perspektif media, apalagi media online. Namun menjadi sangat layak dan bernilai berita, karena pidato Presiden Jokowi punya nilai berita. Saya tidak mau berasumsi makna dari pidato pembukaan di rapat itu (Silahkan simak dan perhatikan videonya: Ini link-nya).
Tapi ada kata-kata yang membuat saya pribadi berdecak 'wow'. "Bisa saja reshuffle..." begitu salah satu kalimat potongannya. Sebenarnya ada lagi yang menggelitik saya pribadi, "Saya pertaruhkan reputsai politik saya". Tapi yang terakhir, terlalu politis. Biarlah semua mencerna maknanya, walau mungkin berbeda.
Oke, soal reshuffle. Saya sedikit beruntung menjadi salah satu bagian dari serah terima kepemimpinan nasional dari Pak Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI ke-6 dan dua periode) ke Pak Jokowi pada 2014 lalu. Saya bertugas di Istana Kepresidenan, sehingga apa yang terjadi, sedikit banyak masih terekam dalam ingatan.
Reshuffle pertama Pak Jokowi saat itu adalah pada 12 Agustus 2015. Saat itu, komposisi reshuffle adalah Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menkopolhukam (menggantikan Tedjo Edhy), Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian (menggantikan Sofyan Djalil yang menempati pos menteri baru), Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan (menggantikan Rachmat Gobel), Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman (menggantikan Indroyono Susilo), dan Sofyan Djalil sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (Menggantikan Andrianof Chaniago).
Di balik proses pergantian itu, rasanya seluruh media tidak ada yang mampu mengendus. Saya rasakan, reshuffle kali itu benar-benar informasinya tertutup. Gonjang ganjing politik yang menyertainya pun tidak ada. Tidak ada 'kode keras' dari Pak Jokowi untuk merombak jajaran kabinetnya.
Lalu, reshuffle selanjutnya dilakukan pada tahun 2016. Kabar-kabar reshuffle memang sempat mengemuka. Tapi ibaratnya, kami hampir tidak bisa melihat 'hilal' itu. Informasi reshuffle benar-benar tertutup. Kabarnya, Pak Jokowi memang tidak mengumbar dan membahas ini semua bersama dengan menteri-menteri atau orang banyak, tidak. Tapi hanya dai sendiri, dan juga dua atau tiga orang yang dianggap sebagai kepercayaannya.
Bahkan hingga H-1 reshuffle pada 27 Juli 2016, hampir tidak terlacak. Tidak ada 'kode keras' juga dari Pak Jokowi saat itu. Mungkin ada yang terdeteksi tapi itu hanya satu atau dua saja. Selebihnya, tidak ada yang bisa memberi kepastian. Saat itu, hanya salah satu media nasional ternama yang saat proses pengenalan menteri baru, hari itu juga sudah cetak. Intinya, kami kebobolan berjamaah oleh media nasional terkemuka itu.
Ada nama-nama yang digeser, dan nama-nama baru. Pergeseran posisi beberapa menteri dan ketua lembaga:
Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Kemaritiman;
Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas;
Sofyan Djalil sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang; Thomas Trikasih Lembong sebagai Kepala BKPM.
Menteri baru:
Wiranto sebagai Menko Polhukam;
Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan;
Eko Putro Sanjoyo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
Budi Karya Sumardi sebagai Menteri Perhubungan;
Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan;
Enggartiasto Lukita sebagai Menteri Perdagangan;
Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian;
Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM;
Asman Abnur sebagai Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi atau PAN-RB.
Lagi-lagi, proses pergantian itu tidak ada 'kode deras' yang muncul. Perlahan-lahan, saya merasa memang dalam keputusan-keputusan penting yang menjadi preogratifnya, Pak Jokowi memilih tidak melibatkan banyak orang. Atau mungkin menyadari itu preogratif dia. Istilahnya, 'Suka-suka saya sebagai Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri'.
Kemarahan yang Jarang Terlihat
Dalam video pernyataan yang baru diunggah 28 Juni itu, sepanjang pidato pembukaannya, lihat raut wajah Pak Jokowi. Ya, sepanjang itu dalam tatapan yang marah. Semua ditumpahkan untuk para pembantunya, para menteri. Memarahi menteri tentu hak preogratif beliau. Termasuk menggantinya kan.
Sekali pernah melihat Pak Jokowi marah adalah saat menyampaikan pernyataan pers di Istana Merdeka Jakarta. Saat itu, mengomentari kasus 'Papa Minta Saham' yang kala itu menyeret nama Setya Novanto. Pak Setnov, biasa dipanggil, saat itu masih menjadi Ketua DPR.
Lalu, siapa yang diganti? Atau siapa saja yang akan diganti? Menarik untuk menunggu. Satu yang mungkin menjadi kode dari pernyataan itu adalah "Bidang Kesehatan, tuh dianggarkan Rp 75 triliun. Rp75 trilium, baru keluar 1,53 persen coba".
Apakah itu bukan lagi sebuah kode? Menarik menunggu kejutan berikutnya di reshuffle era pandemi Covid-19 ini. Wallahualam.
Baik. Saya tidak ingin berbicara mengenai teori politik. Saya hanya ingin bercerita dan membandingkan. Bercerita mengenai realitas politik yang saya lihat, saya alami dan saya dengar, di republik ini. Realitas reshuffle. Dalam profesi saya, sedikit diuntungkan pernah ditempatkan di DPR dan Istana Kepresidenan. Walau mungkin penglihatan ini bagi orang lain dianggap subjektif atau tidak tepat.
Pada 18 Juni 2020 lalu, untuk pertama kalinya Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma'ruf Amin, menggelar rapat kabinet paripurna. Ya, rapat pertama secara tatap muka lantaran sejak Maret hanya melalui virtual lantaran pandemi Covid-19. Karena berlangsung tertutup, tentu media dan publik tidak akan tahu apa yang terjadi di dalamnya.
Ujug-ujug, video itu dipublish oleh Sekretariat Presiden melalui laman youtube. Tentu itu resmi. Dari tanggal 18 dan baru dipublish tanggal 28 Juni, jeda 10 hari, sebenarnya sudah kadaluarsa dalam perspektif media, apalagi media online. Namun menjadi sangat layak dan bernilai berita, karena pidato Presiden Jokowi punya nilai berita. Saya tidak mau berasumsi makna dari pidato pembukaan di rapat itu (Silahkan simak dan perhatikan videonya: Ini link-nya).
Tapi ada kata-kata yang membuat saya pribadi berdecak 'wow'. "Bisa saja reshuffle..." begitu salah satu kalimat potongannya. Sebenarnya ada lagi yang menggelitik saya pribadi, "Saya pertaruhkan reputsai politik saya". Tapi yang terakhir, terlalu politis. Biarlah semua mencerna maknanya, walau mungkin berbeda.
Oke, soal reshuffle. Saya sedikit beruntung menjadi salah satu bagian dari serah terima kepemimpinan nasional dari Pak Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI ke-6 dan dua periode) ke Pak Jokowi pada 2014 lalu. Saya bertugas di Istana Kepresidenan, sehingga apa yang terjadi, sedikit banyak masih terekam dalam ingatan.
Reshuffle pertama Pak Jokowi saat itu adalah pada 12 Agustus 2015. Saat itu, komposisi reshuffle adalah Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menkopolhukam (menggantikan Tedjo Edhy), Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian (menggantikan Sofyan Djalil yang menempati pos menteri baru), Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan (menggantikan Rachmat Gobel), Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman (menggantikan Indroyono Susilo), dan Sofyan Djalil sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (Menggantikan Andrianof Chaniago).
Di balik proses pergantian itu, rasanya seluruh media tidak ada yang mampu mengendus. Saya rasakan, reshuffle kali itu benar-benar informasinya tertutup. Gonjang ganjing politik yang menyertainya pun tidak ada. Tidak ada 'kode keras' dari Pak Jokowi untuk merombak jajaran kabinetnya.
Lalu, reshuffle selanjutnya dilakukan pada tahun 2016. Kabar-kabar reshuffle memang sempat mengemuka. Tapi ibaratnya, kami hampir tidak bisa melihat 'hilal' itu. Informasi reshuffle benar-benar tertutup. Kabarnya, Pak Jokowi memang tidak mengumbar dan membahas ini semua bersama dengan menteri-menteri atau orang banyak, tidak. Tapi hanya dai sendiri, dan juga dua atau tiga orang yang dianggap sebagai kepercayaannya.
Bahkan hingga H-1 reshuffle pada 27 Juli 2016, hampir tidak terlacak. Tidak ada 'kode keras' juga dari Pak Jokowi saat itu. Mungkin ada yang terdeteksi tapi itu hanya satu atau dua saja. Selebihnya, tidak ada yang bisa memberi kepastian. Saat itu, hanya salah satu media nasional ternama yang saat proses pengenalan menteri baru, hari itu juga sudah cetak. Intinya, kami kebobolan berjamaah oleh media nasional terkemuka itu.
Ada nama-nama yang digeser, dan nama-nama baru. Pergeseran posisi beberapa menteri dan ketua lembaga:
Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Kemaritiman;
Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas;
Sofyan Djalil sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang; Thomas Trikasih Lembong sebagai Kepala BKPM.
Menteri baru:
Wiranto sebagai Menko Polhukam;
Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan;
Eko Putro Sanjoyo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
Budi Karya Sumardi sebagai Menteri Perhubungan;
Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan;
Enggartiasto Lukita sebagai Menteri Perdagangan;
Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian;
Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM;
Asman Abnur sebagai Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi atau PAN-RB.
Lagi-lagi, proses pergantian itu tidak ada 'kode deras' yang muncul. Perlahan-lahan, saya merasa memang dalam keputusan-keputusan penting yang menjadi preogratifnya, Pak Jokowi memilih tidak melibatkan banyak orang. Atau mungkin menyadari itu preogratif dia. Istilahnya, 'Suka-suka saya sebagai Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri'.
Kemarahan yang Jarang Terlihat
Dalam video pernyataan yang baru diunggah 28 Juni itu, sepanjang pidato pembukaannya, lihat raut wajah Pak Jokowi. Ya, sepanjang itu dalam tatapan yang marah. Semua ditumpahkan untuk para pembantunya, para menteri. Memarahi menteri tentu hak preogratif beliau. Termasuk menggantinya kan.
Sekali pernah melihat Pak Jokowi marah adalah saat menyampaikan pernyataan pers di Istana Merdeka Jakarta. Saat itu, mengomentari kasus 'Papa Minta Saham' yang kala itu menyeret nama Setya Novanto. Pak Setnov, biasa dipanggil, saat itu masih menjadi Ketua DPR.
Lalu, siapa yang diganti? Atau siapa saja yang akan diganti? Menarik untuk menunggu. Satu yang mungkin menjadi kode dari pernyataan itu adalah "Bidang Kesehatan, tuh dianggarkan Rp 75 triliun. Rp75 trilium, baru keluar 1,53 persen coba".
Apakah itu bukan lagi sebuah kode? Menarik menunggu kejutan berikutnya di reshuffle era pandemi Covid-19 ini. Wallahualam.
Comments