Pejabat publik seperti menteri, memiliki tipikal yang berbeda-beda saat menghadapi wartawan. Ada yang begitu care, ada yang moodyan, atau ada yang lebih suka ngobrol santai tanpa harus ada kutip mengutip pernyataan di media.
Diantaranya adalah Menteri
Sekretaris Negara (Mensesneg) 2014-2019 dan 2019-2024, Pratikno. Beliau tentu menjadi orang paling dekat
dengan Presiden. Dua periode Pak Jokowi menjabat Presiden, dua periode juga dia
menjadi Mensesneg.
Kalau diistilahkan, Pak Pratik adalah lingkaran ‘A setengah’ (kalau ada istilah A1) Presiden. Kebijakan-kebijakan yang ada tentu akan didiskusikan dengan beliau. Marah dan senangnya Presiden, sudah pasti dia tahu.
Namun untuk bahan kutip mengutip,
dia selalu berhati-hati. Hampir susah mendapatkan bahan kutipan yang istilahnya
layak kutip. Paling dijawab, ‘nggak tahu aku’ atau ‘baru dengar aku’. Mentok-mentok,
‘tanya ke menteri terkait lah’.
Mengulik informasi dan meminta
penjelasan darinya, bisa dibilang begitu susah. Kalaupun memberi penjelasan,
sekedar yang ringan soal agenda kenegaraan, atau hal-hal yang menyangkut acara.
Sekitar tahun 2016. Saat itu,
sempat ramai berita ada pertemuan utusan Pak Jokowi dengan Prabowo Subianto sebagai
Ketum Gerindra. Dalam informasi itu, utusan yang dimaksud adalah Pak Pratik. Isu
politik itu begitu liar, hingga membuat Pak Pratik mendatangi pressroom, yang
saat itu masih dibuat sementara lantaran pressroom sedang direnovasi.
“Tidak pernah bertemu dan tidak pernah berkunjung ke sana dalam beberapa minggu ini,” elak Pak Pratik saat itu. Dia juga memastikan, sebagai pejabat Negara tidak bisa dukung mendukung calon.
Isu itu dijawabnya terkait Pilgub
DKI. Pilkada saat itu berlangsung cukup panas. Pertarungan di Pilpres 2014
antara Pak Prabowo dengan Pak Jokowi, kembali tersaji di Pilgub DKI. Apalagi anggapan
saat itu yang begitu kuat adalah Pak Jokowi punya ‘calon’ untuk memenangkan
pilgub. Sementara Pak Prabowo juga punya calon.
Namanya wartawan, semua dikulik.
Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan yang menjebak ditanyakan. Tapi jawabannya ya
cuma itu-itu saja. Berpuluh-puluh menit doorstop, tidak ada angel lain. Hanya klarifikasi
saja, hanya ‘Istana bantah presiden
ketemu Prabowo’ atau ‘Presiden Jokowi
bantah ketemu Prabowo’ dan atau sejenisnya.
Dicecar dengan pertanyaan
‘jebakan’ agar informasi yang dimiliki terkuak, hanya dijawab datar, itu-itu
saja. Mengesankan bahwa beliau tidak tahu apa-apa, beliau hanya tahu itu.
Walau kami tahu, ya beliau tahu
banyak. Sekelas Pak Pratik, mantan Rektor UGM dan akademisi di bidang politik,
tentu ilmu dan informasi yang dipegangnya melebihi dari apa yang disampaikannya
di depan media.
Usai rapat kabinet terbatas (ratas) atau rapat kabinet
paripurna, sering kali Pak Pratik yang dicegat. Dalam pembukaan rapat-rapat
itu, Presiden selalu memberi pidato pengantar. Tidak terlalu panjang, hanya
beberapa menit. Tapi kadang ada pernyataan Presiden yang begitu keras,
pernyataan marah, atau yang sekiranya sangat layak dikulik.
Usai rapat, kadang Pak Pratik
keluar melalui pintu belakang. Dimana kami lazim menunggu agenda selesai.
Beliau keluar dengan senyum khas, dan jalannya yang begitu cepat.
“Ojo takon aku (jangan tanya saya),” begitu biasanya dijawab kalau
menghindar.
Atau misalnya isu-isu sensitif,
yang kadang masih kabarnya, belum valid tapi sudah diperbincangkan publik,
hampir tidak pernah para jurnalis mendapatkan penjelasan atau jawaban dari Pak
Pratik.
“Aku nggak tahu eee,”.
Atau kadang Pak Pratik memilih
melenggang meninggalkan wartawan. Menunjuk menteri lain untuk ditanya. Sementara
dia tersenyum-senyum dengan langkah yang begitu cepat menuju kantornya.
Di luar itu, Pak Pratik termasuk
yang begitu dekat dan selalu berbaur dengan wartawan. Dia kadang tidak
memperlihatkan diri sebagai seorang menteri. Tidak merasa menjadi elit di
tengah-tengah kami, yang sering kali memproklamirkan diri sebagai kaum proletar.
Sekitar 2018, Pak Jokowi
melakukan kunjungan ke Jawa Timur. Diantaranya mengunjungi salah satu pelabuhan
di Gresik. Pelabuhan bagi pengembangan ekonomi, menjadi penting. Dan pengembangan
ekonomi ini menjadi titik poin yang selalu diseriusi oleh Pak Jokowi. Saat itu,
Presiden masih meninjau beberapa ruangan di dalam kapal.
Kami sudah di bawah, di luar
kapal-kapal itu. Biasa, berjejer dan berharap ada doorstop (wawancara todong) untuk
pendalaman materi ke Presiden. Namun di sela-sela menunggu itu, Pak Pratik
tiba-tiba menghampiri.
“Ayo foto, ayo foto,”.
Diajak pejabat, siapa sih yang tidak mau. Berdiri di barisan
depan, bergaya layaknya kami ini teman akrabnya, dan yang lain berlarian ingin
ikut dalam foto itu. Lebih luwes jika diajak ngobrol-ngobrol ringan tanpa harus
kutip mengutip dibanding saat wawancara.
Sekitar tahun 2019, pernah juga Pak Pratik mendampingi Presiden menghadiri acara yang diselenggarakan IkatanCendikiawan Muda Indonesia (ICMI). Acara digelar di Lampung. Acara berlangsung pada malam hari.
Usai acara kami sudah berbaris
berjejer, berdesakan untuk mencari posisi yang pas untuk doorstop Presiden. Bagi
wartawan televisi, kamera berjejer dengan tripodnya. Kami yang online dan cetak,
duduk di bawahnya. Tidak pandang kotor atau bersih, yang penting bisa selonjoran
sebelum doorstop.
Sementara tepat di depan kami,
Pak Jokowi masih melayani acara foto bersama. Acara itu memakan waktu yang
lama. Karena selain dengan ICMI, juga foto bersama dengan tuan rumah dan
beberapa daerah lainnya. Belum lagi yang ngotot minta selfi.
Saat duduk selonjoran di lantai
yang pasti berdebu dan kotor itu, tiba-tiba Pak Pratik menghampiri. Jangan
harap doorstop. Dia hanya ingin berbaur. Jadilah bincang-bincang santai
diselingi tawa dengannya.
Kalau didoorstop dia menghindar,
tapi ini berbaur dan ikut selonjoran. Entah bagaimaan persepsi orang yang ada
di situ. Atau justru mereka tidak tahu kalau Pak Pratik adalah menteri!?
Kadang Pak Pratik yang membuka
percakapan. Tapi jangan harap percakapan yang serius, yang baground suatu
masalah Negara. Tidak. Pecakapan yang mengandung humor. Beliau baru berdiri,
saat Pak Jokowi sudah selesai dan siap memberikan keterangan pers.
Pada Oktober 2018, ada agenda
Presiden di Istana Negara. Ratusan tamu ikut serta dalam agenda itu. Termasuk
wartawan yang meliput tentunya. Usai acara, para wartawan langsung kavling
tempat, bersiap-siap untuk doorstop.
Lokasinya ada di dekat pintu
keluar. Untuk mendapatkan posisi yang pas, yang bagus, tentu kami juga harus
berebutan. Siapa cepat dia dapat tempat yang pas. Karena posisi doorstop harus
dari depan. Tidak boleh dari samping atau belakang, seperti saat doorstop
pejabat atau publik figur lainnya. Maka yang dicari adalah posisi di depan.
Karena banyak wartawan, jadi kami
pun harus bisa cepat-cepatan mendapatkan posisi. Tertinggal sedikit, atau
meninggalkan posisi yang sudah ditempati, bisa jadi hanya kebagian di belakang
kamera. Tempat yang tidak tepat untuk bertanya ke orang nomor satu di Indonesia
itu. Juga tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang disampaikan.
Saat kami siap-siap itu, Pak
Jokowi biasanya masih ada agenda non formal, berbincang-bincang terlebih dahulu
dengan tamu. Kalau acaranya adalah pelantikan pejabat, maka beliau akan
berbincang sejenak dengan pejabat tersebut. Lokasinya tepat berada di depan
kami, sekitar 10 meter.
Di depan kami juga, ada meja
panjang. Antara meja dan tempat Pak Jokowi berbincang bersebelahan, hanya diberi
sekat. Meja itu biasanya menjadi tempat sajian makanan ringan dan minuman, bagi
para tamu dan pejabat. Puluhan jenis makanan dan minuman disiapkan di meja itu,
tinggal para tamu mengambil saja.
Saat kami menunggu, tiba-tiba Pak Pratik datang membawa beberapa kue yang disimpan di atas nampan. Layaknya
pelayan restoran, beliau menyodorkan kue-kue di atas nampan itu ke wartawan
yang duduk menunggu di tempat doorstop.
Bukan wartawan tidak doyan makan atau ingin dilayani seperti itu, bukan. Karena jika wartawan mementingkan makan, maka momen doorstop dengan Presiden bisa saja lepas. Kita tidak tahu seberapa lama Pak Jokowi berbincang dengan tamunya. Pernah sangat lama, pernah juga sebentar. Sering kali mau didoorstop, tapi beberapa kali juga tidak.
Maka pilihan bagi wartawan,
adalah tetap standby menunggu. Jadi, dahulukan tugas doorstop baru makan
kemudian.
Sikap Pak Pratik ini,
mengingatkan pada sosok pendahulunya yang juga Mensesneg. Ya, Pak Moerdiono.
Beliau fenomenal, lantaran penjelasannya di hadapan media penuh kehati-hatian.
Statemennya sangat lambat. Konon, Pak Moer begitu berhati-hati menyampaikan
statemen ke media untuk menghindari kesalahan. Jadi terlihat sangat lambat.
Saat masih kecil, Pak Moer selalu
tampil di TVRI untuk memberi penjelasan ke publik. Tapi gaya bicaranya yang
sangat lambat, justru menjadi cirinya.
Jurnalis senior Kompas, J.Osdar,
dalam bukunya Sisi Lain Istana; Dari
Zaman Bung Karno sampai SBY menggambarkan sosok Pak Moer dalam bergaul
dengan wartawan Istana saat itu.
Era Presiden Soeharto memimpin
Indonesia, Presiden tidak punya juru bicara. Sehingga Pak Moer yang menjadi
jembatan informasi antara Presiden dengan wartawan Istana. Yang memberi
pernyataan-pernyataan pers. Bisa dibilang, kalau dalam konteks sekarang ya Pak
Moer yang menjadi ‘jubir’.
Mas Osdar, dalam bukunya itu juga
memaparkan bagaimana hubungan Pak Moer dengan wartawan. Di luar kutip mengutip
statemen, beliau sering kali berbincang dengan wartawan dan memberi penjelasan
mengenai latar belakang suatu persoalan. Tentu tidak untuk dikutip media alias off the record.
Menyampaikan informasi baground
sebenarnya cukup bagus. Tentu tidak untuk dikutip media. Agar wartawan juga
punya sudut pandang yang utuh menyikapi suatu masalah. Seorang pejabat pernah
mengatakan, dulu saat di DPR dia begitu leluasa berbicara, walau belum terlalu
mendalami persoalan. Tapi ketika di eksekutif (pemerintahan), tidak bisa
seperti itu. Ada informasi yang bisa dibuka, ada yang tidak.
Kadang Pak Moer juga menghampiri wartawan
di ruang pers, saat para jurnalis sedang mengetik berita. Kedatangan yang
tiba-tiba, membawa suasana humor antara beliau dengan wartawan. Obrolan sering
kali juga diiringi dengan hidangan berupa gorengan.
Saat kunjungan kerja ke luar
negeri, tak jarang Pak Moer juga menghampiri tempat wartawan yang berada di
ekor pesawat. Beliau juga menjadi tempat para wartawan mengadu tentang kondisi,
tentang para menteri yang dianggap tidak bersahabat dengan pers.
“Biarkan saja menteri itu
menggunakan corong pengeras suara dan putar-putar kota menjelaskan langsung ke
masyarakat,” Pak Moer dengan nada bercanda, seperti dikutip dalam buku Mas
Osdar.
Kalau Pak Moer adalah seorang
menteri yang penggila music dangdut, Pak Pratik suka genre musik apa ya?
Comments