Presiden SBY menyampaikan keterangan pers. Nampak Jubir Julian Aldrin Pasha |
Juru bicara, disadari atau tidak, kini memiliki posisi yang sentral. Bahkan saat ini, posisi juru bicara atau jubir, tidak hanya dimiliki oleh lembaga atau dalam hubungan kenegaraan adalah kementerian atau setara. Bahkan pribadi seseorang, kini memiliki jubir juga.
Juru bicara Prabowo Subianto, bang Dahnil Anzar Simanjuntak, misalnya. Sebelum Pak Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, bang DAS adalah jubir pribadi Pak Prabowo. Lalu sebelumnya ada juru bicara Menteri Perhubungan saat dijabat Pak Ignatius Jonan, yakni Hadi M Djurait (Alm). artinya, betapa pentingnya peran jubir ini.
Sementara setiap lembaga dan atau kementerian, kini juga memiliki juru bicara. Biasanya dia akan masuk dalam jajaran staf khusus menteri bagian komunikasi publik. Biasanya mereka bukan pegawai tetap di kementerian tersebut.
Beberapa lembaga seperti KPK hingga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, juga memiliki juru bicara. Komisi Yudisial juga punya. Mereka sekaligus menjadi pegawai di institusi tersebut.
Menjadi sebuah keharusan rasanya, untuk menempatkan posisi jubir ini. Kenapa? Era teknologi yang semakin cepat dan menghilangkan sekat-sekat jarak dan waktu, menuntut pejabat publik atau orang-orang tertentu, untuk bisa ikut merespon dengan cepat pula.
Kalau sebagai lembaga atau pejabat publik, tentu menjadi keharusan untuk menyampaikan informasi, memberi klarifikasi terhadap suatu hal yang disorot publik. Maka jubir menjadi penghubung yang tepat, agar pejabat tersebut bisa tetap membagi waktu dengan bekerja sesuai tupoksinya.
Di era informasi yang semakin terbuka, berbagai platform media yang semakin banyak, membuat informasi begitu cepat dan begitu mudah didapatkan. Mungkin istilahnya tsunami informasi. Ya tentu ada benar, ada yang hoaks, atau ada yang salah konteks, dipelintir dan sebagainya. Nah, untuk menyikapi itu, peran jubir juga menjadi sangat penting.
Lalu bagaimana dengan Istana? Istana akan selalu identik dengan Presiden RI. Presiden Soekarno, sang Proklamator tidak memiliki juru bicara. Mungkin saat itu belum terpikirkan pentingnya profesi ini.
Era Presiden Soeharto, dalam beberapa catatan juga tidak memiliki juru bicara. Mas J Osdar, dalam "Sisi Lain Istana; Dari Zaman Bung Karno sampai SBY" menyebut bahwa Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, yang kerap menjadi 'juru bicara'. Menyampaikan kebijakan-kebijakan pada publik.
Pak Moer, biasanya disapa, memiliki ciri khas ketika berbicara di depan media, yakni cara penyampaiannya yang cukup lambat, penuh kehati-hatian. Tapi bisalah kita sebut Pak Moer sebagai 'jubir' Pak Harto saat itu.
Mas Osdar dalam tulisannya itu menyebutkan, Pak Moer memberikan penjelasan terhadap sesuatu keputusan yang diambil. Tapi untuk menambah pengetahuan wartawan, tidak untuk dikutip dijadikan berita. Kalau istilah sekarang disebut baground.
Apalagi Istana, eksekutif yang sangat jauh berbeda dengan legislatif. Eksekutif adalah pengambil kebijakan, eksekutor. Tidak semua hal yang dilakukan harus diketahui publik. Tapi sebisa mungkin, informasi tidak terhambat, apalagi di era sekarang ini. Maka wartawan pun butuh baground, agar lebih tahu. Pilar keempat jangan disingkirkan, mungkin begitu.
Era Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah pertama kalinya muncul juru bicara, jubir. Bahkan hingga kini, di era mantan Ketum PBNU itu yang terbanyak. Wimar Witoelar, Adhi Massardi, Yahya Staquf, adalah sederet jubir beliau saat itu.
Pengganti Gus Dur, Ibu Megawati, kemudian tidak melanjutkan adanya jubir tersebut. Entah seperti apa alasan beliau. Tapi setiap kepemimpinan tentu punya pertimbangan.
Pak Susilo Bambang Yudhoyono, SBY, memulai kepemimpinannya dengan Pak Jusuf Kalla, JK, pada 2004-2009. Periode pertama itu dua orang jubir, yakni Andi Alfian Mallarangeng dan Dino Patti Djalal. Bang Andi Mallarangeng untuk urusan dalam negeri, dan Dino urusan luar negeri.
Di periode kedua, Pak SBY menyisakan satu jubir yakni Julian Aldrin Pasha. Kata orang beliau low profile. Memang benar sih, setelah mengakhiri tugas sebagai jubir beliau kembali ke kampus, mengajar.
Pak Joko Widodo, Jokowi, di awal memang masih kesulitan membangun komunikasi dengan wartawan. Awal periode, yang sering ditodong untuk mewakili Istana (sebagai jubir) adalah Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Kadang Mensesneg Pratikno. Tapi komunikasinya saat itu harus diakui banyak hambatan.
Hingga pada 2015 ada perombokan kabinet, dan Pak Jokowi menunjuk Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet. Saat masih liputan di DPR, mas Pram biasa kami panggil, adalah wakil ketua dewan. Sehingga sudah sangat akraba dengan pertanyaan wartawan, dengan isu pers. Sedikit banyak, saat itu mantan Sekjen PDIP itu cukup membantu wartawan sebagai jubir.
Hingga kemudian tahun 2016 Pak Jokowi mengangkat Johan Budi. Namanya sudah tenar duluan sebelum menjadi jubir Presiden. Ya, abang satu ini lama sebagai jubir KPK. Elektabilitasnya cukup tinggi karena KPK menjadi salah satu lembaga yang sangat sering disorot media, bahkan beberapa lembaga survei menyebut tingkat kepercayaan publik pada KPK adalah yang tertinggi dari lembaga/kementerian lain. Jadi bang Jo, biasa kami menyapa, ikut kecipratan tenar.
Hingga di awal-awal periode kedua Pak Jokowi, 2019-2024, langsung menunjuk Fadjroel Rahman sebagai jubir.
Cara Jubir Bergaul dengan Wartawan
Masih dalam bukunya Mas Osdar. Pak Moerdiono bergaul dengan wartawan saat disela-sela kesibukannya. Pak Moer datang dengan membawa makanan ringan dan berbincang-bincang dengan wartawan.
Bahkan saat menerima pejabat, biasanya Pak Moer memperkenalkan wartawan dengan menyebut sebagai temannya.
Dalam kunjungan ke luar negeri, Mas Osdar menyebut Pak Moerdiono kerap kali menghampiri tempat wartawan yang biasanya duduk di paling belakang, ekor pesawat.
"Ia selalu memberikan penjelasan latar belakang berbagai peristiwa dan kejadian yang berkaitan dengan Istana. Biasanya penjelasan itu bukan untuk diberitakan".
Era Presiden Gus Dur, lagi-lagi dari tulisan mas Osdar. Yakni bagaimana Jubir Yahya Staquf membangun hubungan dengan wartawan. Dia belajar dari cara jubir Gedung Putih AS. Maka ia memiliki staf juga.
"Para pembantu juru bicara ada yang bertugas bergaul dengan wartawan," kata Yahya Staquf.
Dia juga mengambil waktu sela Gus Dur untuk berbincang. Nampaknya ini untuk mengetahui pandangan sang Presiden terhadap suatu persoalan di publik, sehingga match dengan apa yang akan disampaikannya nanti.
"Selain itu, kata Staquf, para juru bicara juga banyak bergaul dengan wartawan secara informal. Dengan demikian, terjadi lainan rasa,".
Periode awal Pak SBY, saat Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal sebagai jubir, saya tidak memahami pola komunikasinya. Belum bertugas di sana, dan belum membaca referensi lain.
Saat Pak Julian Aldrin Pasha sebagai jubir di periode kedua Pak SBY, yang saya pahami terlalu sedikit. Tapi Julian termasuk yang cukup responsif terhadap wartawan. Wawancara todong atau dorstop, akan dijawab mengenai pertanyaan apapun.
Pernah juga ketika saya konfirmasi melalui sms, beliau membalas dan memberi penjelasan. Cukup responsif.
Saya sendiri bertugas era Pak SBY diakhir-akhir periode, sehingga tidak intens mengikuti. Tapi dalam beberapa kesempatan, Julian kerap kali berada di dekat Pak SBY saat berbincang dengan menteri atau pejabat lainnya. Itu dilakukan untuk mengetahui pandangan umum Presiden terhadap suatu masalah yang disoroti publik. Sehingga Julian nantinya bisa menyampaikan ke wartawan.
Pramono di awal kepemimpinan Pak Jokowi, rasanya cukup baik. Dibanding sebelumnya. Maksudnya sebelum dia, awal tahun Jokowi-JK memimpin. Karena menjawab dorstop bukan hal baru baginya. Walau, tidak semua bisa dijawab dengan lantang seperti saat masih di DPR dulu.
Mas Pram, biasanya kami memanggil, juga menyiapkan waktu untuk dorstop di ruang kerjanya saat tidak ada agenda Presiden. Atau saat Pak Jokowi di luar daerah atau luar negeri. Biasanya lewat WA, jika berkenan maka mas Pram akan memberi waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan.
Johan Budi, Bang Jo, di awal ada yang menulis jubir Presiden, ada juga staf khusus presiden bidang komunikasi. Tapi setahu saya, bang Jo memang meminta agar dia sebagai jubir memiliki akses yang besar untuk ke Presiden Jokowi.
Karena sudah terbiasa menjawab pertanyaan wartawan, jadi tidak ada miss. Walau rasanya beliau agak kaku ketika menjawab pertanyaan yang bersifat politis. Mungkin karena lama di hukum, sehingga harus ada alat buktinya dulu. Sementara politik kadang tanpa itu, cukup dengan isyarat, cukup dengan informasi off the record (OTR).
Tapi pergaulan bang Jo dengan wartawan cukup baik. Beberapa kali, ngopi pagi dengannya di dekat ruangannya di ujung Kantor Presiden lantai bawah. Berbincang soal situasi tentunya. Ada info-info, ada juga kami memberi info.
"Kalau yang ini boleh kalian kutip," katanya. Jadi hasil bincang-bincang, tidak semuanya untuk dikutip alias OTR. Tidak masalah sebenarnya. Karena ini lembaga Kepresidenan, tidak semua hal harus diumbar.
Fadjroel Rahman, jubir Pak Jokowi yang diangkat begitu cepat. Bahkan di awal-awal sebelum menteri dilantik. Sehingga berbagai pertanyaan wartawan, langsung diserahkan ke dia.
"HP saya 24 jam, silahkan dihubungi," begitu ujarnya dalam keterangannya kepada wartawan, sembari menyebut nomor tersebut.
Namun sayang, dalam komunikasi dengan wartawan, ada sedikit hambatan. Pertanyaan teman-teman tidak dijawab, atau hanya dibaca saja.
Beberapa hari kemudian, ada perubahan. Bang Fadjroel juga kerap datang ke bioskop, istilah presroom di Istana. Tapi sekedar memaparkan beberapa topik yang ramai dibicarakan, menjawab beberapa pertanyaan, setelah itu selesai.
Atau sering juga menyampaikan melalui rilis. Seperti ketika usai rapat kabinet terbatas, ada instruksi dari Pak Jokowi kepada jajaran menteri. Nah, di rilis itu kembali diulang oleh jubir. Tapi kalau mau jujur, kurang efektif. Karena tidak menjabarkan, tidak mendalami, sebatas peristiwa ada instruksi itu. Padahal beberapa menit setelah itu diutarakan oleh Pak Jokowi, tentu saja sudah naik di media online sehingga bukan barang baru lagi.
Komunikasi Publik Sebagai Seni
Komunikasi publik bukan sekedar menyampaikan. Tapi dia adalah seni. Layaknya pilar kehidupan bernegara yang kita adopsi berdasarkan trias politika dalam demokrasi kita, eksekutif-legislatif-yudikatif. Ketiganya punya ciri yang berbeda-beda.
Pers, media massa sebagai pilar keempat, juga punya ciri tersendiri, memiliki kekhasan. Tidak bisa disamakan. Perlu perlakuan khusus, perlu seni khusus. Jadi, komunikasi dengan pers sejatinya tidak sekedar menyampaikan dan selesai, tidak.
Bahasa media kadang berbeda. Informasi yang dimiliki lembaga tentu harus ada strateginya untuk membahasakan ke publik. Seperti bagaimana sebuah data, dengan angka-angka, mampu diterjemahkan menjadi bahasa yang sederhana dan bisa ditangkap publik, pers. Maka itu ada seninya.
Comments