Kamis 25 Februari 2021, menjadi momentum yang sulit dilupakan dalam sejarah pandemi. Momentum pribadi tentunya. Entah ini bisa dibilang senang atau bagaimana. Bersyukur bisa dapat suntikan vaksin COVID-19. Tapi saya juga takut.
Hari itu, adalah jadwal vaksinasi untuk wartawan. Lima ribu lebih wartawan yang terdaftar di Jakarta dan sekitarnya, tumpah ruah di Hall Basket Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Jumlah itu masih sedikit, karena masih ada yang belum keluar namanya dan juga belum kebagian mendaftar. Untuk menghindari kerumunan, maka tidak dalam satu waktu dan satu hari.
Ok, bicara ketakutan. Sejujurnya, saat vaksin mulai masuk Tanah Air dan diputuskan diberi gratis, banyak yang menyatakan 'Saya Siap Divaksin'. Sampai menjadi sebuah slogan di story-story medsos.
Banyak juga yang takut disuntik. Masalah kehalalan hingga soal efek samping, memang sempat menimbulkan situasi horor. Saya sih agak santai menanggapi itu. "Sudah ada jaminan negara, jaminan ahli, selanjutnya serahkan pada-Nya", pegangan saya itu. Karena di tengah situasi yang memang tidak normal.
Hingga kemudian MUI, BPOM bahkan ormas seperti NU dan Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan yang intinya mendukung vaksinasi. Selesai sudah keraguan. Entah orang lain.
Tapi ada satu yang membuat saya ragu, takut, deg-degan. Begini ceritanya:
Saat masih di kampung, masih kecil dan rumah masih panggung, saya ingat, usai salat magrib saya disuntik oleh seorang bidan (kalau tidak salah). Saya lupa sakit apa. Hingga saya disuntik di bagian pantat.
Subuh sebelum salat (waktu kecil subuhan rajin ke masjid), saya hendak ke kamar mandi yang letaknya di bawah. Tiba-tiba, saya merasa kesulitan berjalan, kesulitan berdiri. Tapi karena sudah kebelet, saya paksa dengan pelan dan tentu jalannya pun tidak normal, lambat.
Sekitar 1998-1999, saya divonis demam berdarah. Hingga sempat kondisinya saat itu semakin memburuk. Muntah darah yang cukup banyak saat dirawat. Berkali-kali tangan ini ditusuk jarum untuk mencari nadi, dipasang infus.
Lalu terbaru, pada 2016. Sehari sebelumnya, memang kondisi badan sudah drop. Waktu itu sudah memasuki bulan suci Ramadan. Subuh harinya, saya mengantar ortu ke Bandara Soekarno-Hatta karena harus kembali ke Bima. Lalu balik ke rumah dan bersiap berangkat ke tempat liputan di Istana.
"Muka lu pucat banget sih itu. Pulang aja mas," kata teman setiba di Bioskop Istana (Apa itu bioskop Istana? Baca di sini).
Setelah bercermin, terlihat memang muka dan bibir sampai pucat. Aku merasa waktu itu badan agak panas. Hingga kuhubungi istri yang kebetulan kerja di RS (bukan perawat apalagi dokter ya). Lalu izin ke kantor untuk sementara, agar bisa berobat karena agak kurang fit.
Tiba di UGD RS tempat istri bekerja, aku ditensi. Lupa berapa angkanya. Namun akhirnya diputuskan untuk rawat inap, setelah beberapa waktu menunggu. Divonis gejala types. Dari UGD, harus menggunakan kursi roda saat dibawa ke kamar. Tapi harus dipasang infus terlebih dahulu.
Di sinilah masalahnya. Saat infus mau dipasang, dan tangan ditekan untuk mencari nadi agar ditusukkan jarum, tiba-tiba tensi saya naik drastis.
"Tensinya naik," kata si dokter itu.
"Iya dok, suami saya takut jarum suntik," kata istri tersenyum, sembari melihat saya yang tak berani menatap ke arah jarum infus tersebut. Si dokter yang terlihat masih muda itu hanya tersenyum.
Nah, jelang vaksinasi COVID-19, ketakutan akan efek dan lain-lainnya, sudah hilang dalam diriku. Tapi itu, ketakutan akan jarum suntik.
Saat suntikan dosis pertama itu, saya agak lega karena melihat jarumnya lumayan kecil. Walau saat hendak ditusuk, lagi-lagi tidak berani melihatnya. Lokasinya terlalu ramai untuk saya berontak karena takut disuntik seperti beberapa orang yang teriak-teriak saat hendak divaksin, yang videonya beredar luas itu. Saya jaga image juga dong. Karena sudah terbiasa pasrah, dan kali ini adalah pasrah yang kesekian kalinya. Beruntung tidak ada efek, seperti saat waktu kecil dulu. Hanya ngantuk dan gampang lapar sehari itu.
Pada suntikan dosis kedua, 16 Maret 2021, saya merasa ada sedikit perbedaan. Agak grogi iya. Lagi-lagi soal jarum. Lengan saya oleh vaksinator ditekan-tekan dan diminta untuk lemas, tidak tegang.
Ini pekerjaan yang lumayan susah. Tapi saya merasa itu sudah agak lemas. Walau mungkin menurutnya belum. Maklum lah ya, masih ada rasa takut akan jarum suntik. Lepas dari jarum itu, sangat lega. Walau rasanya sedikit sakit di lokal suntikannya. Efek biasa, katanya.
Comments