Cowok perokok? Ah itu sudah biasa. Bahkan kadang dalam pergaulan sering muncul ejekan, "cowok kok nggak rokok". Atau kadang merokok itu semacam menunjukkan kecowokan. Rasanya sempurna menjadi seorang cowok ketika dia merokok. Mungkin itu sugesti.
Saya sendiri sudah mulai menjadi 'ahli hisab' alias perokok, sejak sekolah terutama SMA. Walau intensitasnya tentu tidak sering. Bukan karena tidak mau merokok, tapi lebih pada persoalan tak ada uang untuk membeli. Untuk jajan dan kebutuhan sehari-hari saja sangat kurang. SMA saya sudah nge-kos.
Tapi sempat berhenti ketika jelang kelulusan. Saat itu, saya sudah memantapkan pilihan untuk ikut tes menjadi anggota polisi. Maka fisik ditempa, dan kebiasan merokok ditinggal. Tapi kemudian berubah 180 derajat setelah ortu meminta untuk kuliah saja. Kembali lah saya menjadi ahli hisab.
Selama kuliah, rokok adalah kebutuhan pokok. Merokok menjadi aktivitas yang menentramkan, apalagi setelah makan, ditemani kopi panas. Semakin enak karena kota tempat kuliah, Malang, cukup sejuk dan dingin. Setidaknya kami yang datang dari Bima NTB yang wilayahnya cukup panas, tiba di Malang memang sejuk dan dingin. Jadilah merokok semakin nikmat.
Selama kuliah, rokok menjadi kebutuhan pokok. Kenapa? Sebelum makan, maka kita harus berhitung juga, apakah ada rokok. Saat uang pas-pasan, maka memilih makanan juga harus cari yang bisa menyisihkan untuk rokok.
Pernah saya suatu waktu, tersisa disaku Rp5 ribu. Otomatis, tidak cukup jika membeli lalapan ayam atau lele, atau tahu tempe sekalipun. Jadilah membeli mie instan godokan, dimakan tengah malam biar pagi hingga siang masih terasa kenyang. Dan sisa uangnya tentu harus ada rokok. Minimal 2-3 batang, untuk sehabis makan dan besoknya.
Kenapa Tidak Mau Berhenti?
Rasanya setiap yang merokok, pasti ada keinginan untuk berhenti. Terlebih lagi saya, yang saat kuliah, uang kiriman ortu pas-pasan, bahkan terbilang kurang. Alokasinya hanya untuk makan, buat kebutuhan lain rasanya tidak akan cukup.
Sekarang Tidak Merokok, Kok Bisa?
Akhir 2010, saya memulai karir di Jakarta. Setelah hampir setahun di Jatim, terutama Kediri. Merokok tentu bukan lagi menjadi beban selayaknya saat kuliah. Sudah dapat penghasilan, sehingga tak perlu mengatur beli makan yang sisanya untuk rokok. Bahkan sehari bisa habis lebih dari sebungkus.
Niat berhenti tentu ada. Suatu waktu, saya sakit demam. Makan menjadi tidak enak, hanya meringkuk di kasur. Apalagi rokok, menghirup asapnya saja sudah ingin muntah. Tiga hari badan panas. Di sisi lain, saya rasa inilah saatnya untuk berhenti merokok.
Setelah berobat dan sembuh, keinginan merokok kembali muncul. Malah lebih kuat. Tidak tahan, saya kembali merokok. Program berhenti juga gagal. Disarankan makan permen, malah permen tetap dimulut dan di bibir ada sebatang rokok. Lagi-lagi gagal.
Saat itu, saya ditugaskan meliput di Balaikota DKI. Beberapa bulan liputan, mulai menemukan ritme kerja. Ketika itu, jelang Pilkada DKI 2012. Incumbent Fauzi Bowo hendak maju lagi. Siapa penantangnya? Masih digodok. Tapi hampir tidak ada calon lain yang mencuat.
Di tengah-tengah zona nyaman liputan itu, jelang siang koordinator liputan (korlip) saya, menghubungi via telepon.
"Gus, lu besok lu liputannya di DPR ya. Kayaknya nanti seterusnya lu di sana,".
Saat itu saya sedang berjalan ke presroom Balaikota. Terkejut dengan perintah itu. Marah sudah pasti. Karena sedang on banget untuk liputan di Balaikota. Apalagi sedang runing jelang Pilkada Jakarta. Hari itu, gairah liputan menurun drastis.
Dua bungkus rokok dan bergelas-gelas kopi, habis dalam sekejap. Mulai besok, saya akan ditugaskan di tempat lain, di DPR, yang saya belum pernah ke sana sekalipun. Tempat baru, maka adaptasi baru lagi. Dari posisi puncak, kini harus kembali dari zona terendah.
Keesokan harinya, pagi hari, saya langsung ke DPR. Sebelumnya sempat bertanya ke teman, kalau ke DPR lewat pintu mana. Setela dikasi arahan, saya mengikuti. Kompleks DPR tidak kecil. Beruntung ketemu teman, dan dia hendak ke presroom.
Hari pertama itu, saya bergabung dengan beberapa teman yang sudah lama meliput di sana. Yang cowok, semua adalah perokok. Saat ditawari untuk rokok, jawaban saya:
"Nggak merokok,".
Tegas dan entah apa yang ada dalam pikiran saya ketika itu. Saya masih marah dengan kantor yang sekonyong-konyong memindahkan tempat liputan saya ke DPR. Ibarat lagu, disuruh pergi disaat sayang-sayangnya (meliput di Balaikota DKI).
Dan tiba-tiba saya bilang kalau saya tidak merokok. Akhirnya di lingkaran pertemanan itu, 98 persen adalah mereka perokok. Saya dan teman satu lagi tidak merokok. Teman yang satu ini memang sedari lama tidak merokok. Sementara saya!? Baru kemarin menghabiskan dua bungkus lebih rokok. Keesokan harinya tiba-tiba mengaku tidak merokok.
Tapi aneh dan ajaibnya, semenjak pernyataan aneh itu, saya tidak sakau. Sakau adalah istilah orang yang sedang tinggi-tingginya ingin rokok tapi tidak dilakukan. Tidak. Saya tidak sakau, bahkan tidak ngiler ketika teman-teman yang lain di sebelah, di depan, di berbagai tempat, asik dengan hisapan rokoknya itu.
Saya tidak tahu kenapa begitu. Tapi itulah fakta, yang membuat saya berhenti merokok. Sejak itu hingga kini, tidak merokok lagi, dan tidak CLBK dengan rokok. Ini cara aneh saya.
Comments