Masjid Baitussyuhada Sebelum Renovasi |
Hampir tidak ada catatan sejarah yang cukup lengkap, siapa nama aslinya. Literatur online pun hanya tercantum namanya demikian, La Kao Ama Huse. Termasuk dalam buku "Sekilas Perang Dena" tulisan H Ahmad H Djakariah.
Dalam catatan sejarah tersebut, La Kao Ama Huse adalah Kepala Desa Dena. Saat itu tercatat belum disebut sebagai kepala desa, namun masih bernama Gelarang. Sebenarnya nama Gelarang masih sering terucap oleh para tetua di Dena sekitar puluhan tahun ke belakang. Entah kalau sekarang, apakah masih ada penyebutan istilah tersebut. Dalam posisinya, gelarang sama dengan kepala desa saat ini.
Kembali soal sosok La Kao Ama Huse ini. Minimnya tileratur catatan sejarah tentang sosok ini memang cukup menyulitkan untuk menelusuri nama asli hingga turunannya saat ini. Apalagi untuk membahas dan mengupas lebih jauh tentang kepemimpinannya saat itu. Sedikit persinggungan mengenai La Kao Ama Huse adalah di buku H.Ahmad H.Djakariah ini. Itupun sebatas jelang dan saat perang Dena 1910, tidak pada sosok-sosok tertentu.
Menggali sisi sejarahnya mungkin belum begitu terlambat jika dilakukan belakangan ini. Dan ini menjadi pekerjaan rumah bersama terutama untuk generasi saat ini di Dena.
Pemimpin Bijaksana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana adalah selalu menggunakan akal budinya yakni pengalaman dan pengetahuannya. Juga pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.
Rasanya tak salah kalau kita kategorikan Gelarang La Kao Ama Huse ini sebagai pemimpin yang bijaksana. Kepemimpinannya dia bangun dengan prinsip yang kuat, melibatkan ulama-ulama sebagai salah satu stakeholder yang penting. Kebetulan saat itu banyak Tuan Guru dari Dena.
Gelarang La Kao Ama Huse bisa dibilang adalah 'inisiator' yang menolak perjanjian Pena Pali. Pertemuan di Pena Pali melahirkan point-point perjanjian dengan Belanda, yang mana seluruh kejenelian (sekarang mungkin setara kecamatan) harus menerima peraturan dari Belanda yang terang benderang merugikan rakyat. Dena bersama dengan Ngali, Rasa Nggaro dan Kala (Donggo), adalah yang menolak itu.
Sebagai pemimpin, La Kao Ama Huse tentu mengambil peran penting dan menjadi yang terdepan dalam penolakan kebijakan sultan saat ini. Tapi bagaimana sikapnya saat menolak titah sultan? Rasanya kita harus kembali lagi pada era saat itu yang masih belum mengenal demokrasi, mungkin masih monarki. Kita belum mengenal demokrasi yang memberi kebebasan rakyat untuk berpendapat, bahkan mengambil tindakan keras sekalipun atas nama demokrasi.
Meski prinsip tegas menolak kesepakatan dan bujukan Sultan Bima, tapi di sisi lain, dia sangat menghormati sultan, pemimpin wilayah. Menolak ikut kebijakan yang dianggap sangat merugikan rakyat Dena, tetapi disampaikan dengan cukup elegan.
Artinya, ternyata kita masih bisa menggunakan cara-cara yang lebih intelek, lebih solutif tanpa menimbulkan kerugian lain.
Satu catatan lain lagi kenapa demikian, karena La Kao Ama Huse sebagai umaroh, gelarang, pemimpin kampung bernama Dena, melibatkan stakeholder yang lain. Ulama terutama. Lalu, mengambil keputusan dengan bermusyawarah, menggali ide-ide dari setiap kepala, sehingga lahirlah kebijakan yang itu bukan sekedar kehendak penguasa, kehendak satu atau dua individu. Tetapi kesepakatan bersama yang dibicarakan bersama-sama.
Refleksi Generasi Sekarang
Bayangkan kalau dulu sudah ada Facebook atau media sosial lainnya. Bertemu di ruang imajiner, rawan mispersepsi yang mengakibatkan timbulnya beragam persepsi yang kadang salah arti. Maksudnya adalah baik, intonasinya biasa saja, tetapi dibaca dengan sudut pandang berbeda menjadi negatif dan dikira dengan intonasi emosi. Maka timbullah persoalan baru, padahal akar masalahnya belum tersentuh sebuah solusi.
Budaya kita, Dena Bima apalagi, adalah musyawarah mufakat, mungkin dalam bahasa kita adalah mbolo weki. Maka belajar dari sosok ini, tidak ada salahnya kita mengambil sari-sari keteladanannya.
Saat ini mungkin tidak ada musuh yang terlihat seperti Perang Dena 1910 lalu. Tantangannya bukan lagi seperti saat La Kao Ama Huse memimpin dengan kehadiran musuh yang nyata. Tapi ingat, musuh kita saat ini tidak kasat mata tapi nyata. Invasi budaya seiring teknologi informasi yang semakin canggih, tanpa disadari bisa berdampak dua sisi. Bisa menjadi baik karena kita menikmati perkembangan teknologi dan lahirnya era baru.
Tetapi bisa menjadi musuh. Itu bisa dilihat dari perspektif perubahan laku lingkungannya. Terkikis dan hilangnya budaya luhur, meningkatnya kriminalitas, sikap acuh pada sesama. Sederhananya, norma-norma yang dulu dipegang teguh yang diambil dari sari-sari agama dan budaya luhur, kini luntur bahkan terbalik. Jika itu saja sudah terlihat, maka yakinlah sebenarnya musuh telah masuk ke kampung. Oh ya satu lagi, kata orang lihatlah masjidnya. Kalau mulai sepi, hanya diisi oleh orang-orang tua, maka khawatirlah.
Wallahualam. Fastabikul khairat.
Penulis: Agus Rahmat
Jurnalis di Jakarta, putra Dena Bima.
Comments