Perang Dena 1910: Pertempuran Tolo Sera dan Pembantaian


Masjid Dena Sebelum Renovasi


Dena adalah salah satu desa yang berada di Kabupaten Bima, yang memiliki sejarah panjang. Dari bangunan hingga beberapa lokasi yang memiliki unsur sejarah yang sangat kuat.

Perang Dena 1910, sebagai imbas dari penolakan pemimpin Dena dan para tuan guru terhadap perjanjian Pena Pali, memberi catatan sejarah penting bagi Dena dan generasinya saat ini. 

Untuk diketahui, inti perjanjian Pena Pali bahwa mereka harus menerima peraturan dari Belanda yang menyengsarakan rakyat. Bersama Ngali dan Donggo, Dena ikut menolaknya. Akibat keputusan itu, ganjarannya adalah pasukan Belanda menggempur Dena. Kabarnya, penjajah waktu itu menurunkan pasukan elitnya.

Di Dena, sebenarnya ada beberapa bangunan dan tempat yang cukup bersejarah jika kita mengenang kembali Perang Dena 1910. Disadur dari buku "Sekilas Perang Dena" karya H.Achmad Djakariah, seperti Masjid Dena adalah salah satu bangunan yang bersejarah. Bahkan kawasannya sebenarnya bisa dibilang memiliki nilai sejarah yang sangat kuat.

Sayangnya memang, bangunan asli kini sudah tidak ada lagi. Dinamakan 'Baitussyuhada' adalah sebagai dedikasi untuk para pejuang, yang saat itu dinamakan Pasukan Sabil. Masjid menjadi markas. Bahkan para pejuang yang gugur, dimakamkan di kawasan masjid.

Lalu, kawasan yang cukup bersejarah lainnya adalah Tolo Sera. Kawasan Karia Hoe dan Tolo Sera, menjadi lokasi yang bersejarah. Karena di lokasi-lokasi inilah, peperangan terjadi antara pejuang Dena dengan penjajah Belanda. 

Sebenarnya pertempuran pertama terjadi di Sori Ngonco. Tapi karena banjir tiba-tiba datang, maka peperangan berakhir. Pasukan mundur ke Karia Hoe dan berlanjut pada peperangan besar di Tolo Sera.

Tolo Sera adalah hamparan sawah yang luas. Tolo berarti sawah, Sera bisa diartikan hamparan lahan yang luas. 

Lokasinya berada di sisi timur Dena. Diapit oleh Doro (gunung) Dena dan Doro Bolo. Sedangkan wilayah Karia Hoe, terletak di ujung Tolo Sera. Belum diketahui kenapa dinamakan Karia Hoe. Jika berpatokan saat ini, Karia Hoe terletak di ujung kampung, sekitar SMAN 1 Madapangga.

Namun dari sinilah pasukan Belanda masuk ke Dena. Hingga kemudian terjadi peperangan sengit di Tolo Sera. Belanda sempat dibuat kewalahan. Namun peralatan yang dimiliki pasukan penjajah lebih moderen, sehingga pasukan Dena/Sabil kalah dalam peperangan sengit sore hari itu. 

Nilai yang patut diambil bahwa perjuangan tetap harus dilakukan, meski hitungan di atas kertas, sulit untuk menang. Peperangan yang dilakukan di Tolo Sera tersebut juga bukan dilakukan secara sporadis. Melainkan dilakukan dengan strategi yang matang. 

Saat itu, di Tolo Sera sedang ditanami padi, sehingga tanahnya berlumpur. Harapannya, Belanda kesulitan dengan medan tersebut. Dengan begitu, terjadi perang jarak pendek, karena peralatan perang yang digunakan para pejuang memang untuk jarak pendek seperti keris hingga tombak. 

Namun, Belanda ternyata masih bisa menggunakan senjata mereka, sehingga pasukan Dena seperti La Sini ama Tima dan La Lede ama Ibu tewas kena peluru, tepat di dadanya.


Pembantaian

Dua puluh (20) warga Dena meregang nyawa dalam satu rumah, setelah penjajah Belanda menembakkan senjatanya. Di dalam rumah yang dimiliki H.Abdurrahim alias Abu Toi (Abu la Sara) itulah, puluhan warga tersebut meninggal dunia.

Di rumah tersebut memang menjadi tempat persembunyian para orangtua dan warga lainnya dari invasi yang dilakukan penjajah pada 1910 tersebut. Maka rasanya tak salah kalau kita menyebut peristiwa tersebut sebagai pembantaian yang dilakukan penjajah terhadap rakyat, dalam hal ini masyarakat Dena saat itu. Peperangan memang akan selalu memakan korban, hukumnya pasti begitu. 

Sebelum peristiwa itu terjadi, pasukan Dena yang menghadang Belanda di Tolo Sera berhasil dikalahkan. Kondisi itu membuat pejuang Dena mengubah strateginya. 

Perang dalam kampung disiapkan oleh para pimpinan pejuang Dena. Orang-orang tua dikumpulkan dalam satu rumah. Sementara warga lainnya semua di rumah masing-masing, bersiap-siap melawan jika tentara Belanda datang. 

Perlawanan yang disiapkan adalah dengan cara melepas pagar rumah dan menginjak-injaknya ketika pasukan Belanda melintas di dekat pagar tersebut. Dalam upaya perlawanan rakyat Dena itu, seorang tentara Belanda tewas, dan dikebumikan di sisi timur kampung. Kuburan itu disebut rade bari, yang kini sudah ditempati pemukiman warga.

Belanda mencari markas para pejuang, yang telah mereka ketahui ada di Masjid Dena. Semua stretegi telah diketahui Belanda setelah mereka menawan para pejuang pasca peperangan Tolo Sera sore hari sebelumnya.

Dalam penyisirannya mencari Masjid Dena itulah, terjadi pembantaian di rumah Abu Toi. Ketika pasukan penjajah mendekat, pekikan Allahuakbar menggema di udara. Di situlah pasukan Belanda melepaskan tembakannya bertubi-tubi. Mengenai Abu Toi hingga wafat. Lalu menghujamkan tembakan ke arah rumah yang ditempati banyak warga tersebut. 

Ada 20 warga yang tertembus peluru hingga meninggal. Ada 2 yang selamat karena hanya mengenai kaki. Yakni La Tija ina Biba, dan La Jena. 


Penulis

Agus Rahmat (agusmbojo)

Jurnalis di Jakarta, Asli Dena

Comments

Coba di buatkan ulang buku tentang perang dena bang