Mobil angkot berwarna biru itu menepi di persimpangan jalan di wilayah di pusat kota di Bima NTB. Tidak jauh dari salah satu SMA favorit di Bima saat itu, tempat kami bersekolah untuk 3 tahun ke depan. Bima masih dipimpin oleh seorang bupati kala itu. Belum pemekaran menjadi kota administratif.
Sudah hampir sore, ketika mobil yang kami sewa dari desa ke kosan tiba. Lalu menurunkan beberapa perabot dan beras yang kami bawa dari desa.
Sebuah rumah perpaduan modern dan klasik. Ada 2 lantai. Di lantai atas masih full kayu, termasuk lantainya. Ada balkon di depan, yang langsung menghadap jalan raya. Sedangkan di lantai bawah, sudah menggunakan batu bata yang disemen. Tetapi, kamar bagian depan, tidak tersambung dengan bagian belakang.
Di bagian depan, terdapat 2 ruangan. Satu digunakan sebagai kamar tidur dan satu lagi untuk kamar tamu. Akses pintunya cuma 1, letaknya di ruangan yang dijadikan ruang tamu. Langsung menghadap ke jalan raya, yang hanya dibatasi oleh pagar bambu.
Di bagian belakang jauh lebih luas. Ada 2 kamar tidur, satu dapur kosongan, dan kamar mandi. Satu kamarnya sangat besar. Jadi yang menghuni kamar itu ada 2 orang. Setahun kemudian, tambah satu lagi. Sehingga ada 3 tempat tidur di kamar tersebut. Itupun sebenarnya masih bisa diisi 1 tempat tidur lagi.
Ruang keluarga juga besar dan panjang. Di samping rumah, bagian paling belakang, ada sebuah sumur yang terlihat sudah lama tidak digunakan. Banyak jaring laba-laba, sisa-sisa kayu dan dedaunan di dalam sumur dan di sekitar sumur.
Sebuah pohon jambu di depan pintu masuk halaman rumah, memberi kesejukan dari panasnya matahari. Saat kami tiba, banyak daun yang berguguran dan nampaknya jarang dirawat. Dua tumpukan besar daun yang gugur itu, setelah kami sapu lalu kami bakar.
Nuansa Angker
Saya masih ingat. Kami tiba pertama kali untuk langsung menghuni kos itu, pada Kamis jelang sore. Berarti, malam pertama di kos itu adalah malam jumat.
Rumah yang berada di pojok, menghadap ke barat. Konon, rumah besar itu adalah milik salah satu ulama termasyhur di wilayah tersebut.
Suasana angker jelas terlihat, karena di sebelah kos itu ada rumah panggung yang tidak berpenghuni. Rumah itu adalah bagian dari kos kami. Jadi satu lahan itu ada 2 rumah, satu yang kami tempati dan satu lagi yang tidak berpenghuni itu.
Sebelum malam masuk, di kamis sore itu, kami sempat menengok ke atas rumah tersebut. Bisa dibilang mau roboh. Lantai kayunya juga sudah banyak yang keropos. Papan dindingnya juga banyak yang dimakan rayap. Ada beberapa perabot yang bertahan di rumah tersebut.
Lampu dengan watt kecil, kami simpan di antara rumah kos dan rumah tak berpenghuni itu. Namanya juga lampu kecil, jadi tidak cukup untuk memancarkan sinar yang lebih besar. Dari jalan raya di depan kos kami, tetap saja terlihat gelap, mungkin sedikit remang.
Magrib berlalu. Suasana semakin sepi. Aroma angker terpancar jelas. Pintu rumah kos kami buka, menambah suasana mistis. Rumah tak berpenghuni itu yang memberi kesan kuat tersebut.
Sebelum magrib tadi, kami sempat menimba air di sumur belakang. Sumur itu bersanding dengan bagian dapur rumah kosong itu. Sesekali melihat ke atas, memang cukup menakutkan juga. Tidak ada penerang, kecuali sinar bulan dan sedikit cahaya dari lampu yang kami pasang di samping kos, sekitar 10 meter dari sumur itu.
Suasana mistis tak hanya di luar. Tetapi juga di dalam rumah kos kami. Malam jumat itu, kos itu baru terisi 2 orang, saya dan teman. Dia memilih kamar yang sebelah. Sedangkan saya sudah di kamar yang besar itu.
Selepas magrib, kami sepakat untuk mengkhatamkan Surah Yasin. Lalu dilanjutkan dengan surah lainnya sampai kumandang azan Isya. Bukan karena takut sebenarnya. Tetapi karena wejangan dari orangtua. Dimana kami selalu diminta membaca kitab suci saat memasuki rumah atau tempat yang baru. Termasuk saat pertama kali masuk di kos ini. Apalagi ini malam jumat.
Di dalam rumah itu sebenarnya juga cukup mistis. Kalau ke belakang, ke bagian dapur, itu sangat sepi. Dapur bagian bawah terhubung langsung dengan dapur yang atas. Karena dapur lantai 2 ada di bawah juga. Begitu juga toiletnya.
Entah berapa tahun tidak pernah dihuni. Tapi terlihat jelas debu-debu, lalu jaring laba-laba, menambah kesan angker itu. Dari dapur itu, ada sebuah tangga untuk penghuni di lantai atas. Tidak ada lampu penerang. Semakin menambah suasana mistis itu. Karena lantainya papan, maka apapun benda yang jatuh di atas, akan terdengar jelas buat kami di bawah.
Saya sendiri belum pernah melihat langsung mahluk lain di sana. Apakah itu di rumah kosong, atau di lantai atas. Tapi setelah beberapa bulan kami tempati dan ada teman-teman kampung yang main di sana, ada diantara mereka mengaku melihat. Atau sekedar merasakan adanya mahluk gaib itu.
Kamar berukuran besar itu, menjadi tempat nongkrong teman-teman. Termasuk saat malam hari. Ada diantara mereka yang bosan di rumah, atau sekedar ingin merokok secara diam-diam. Lalu gitar-gitaran, atau sekedar cerita-cerita.
Pernah suatu saat, mereka merasa ada yang berjalan di atas. Terdengar jelas seperti ada langkah kaki beberapa jarak. Perbincangan mereka terdiam. Kalau sendirian, mungkin bisa jadi langsung lari ke luar. Tapi jujur, sesendirinya saya pun di dalam kamar itu, tidak pernah mendengar atau melihat hal-hal aneh.
Bahkan dalam banyak kisah mistis di rumah atau kamar itu, seluruhnya dialami oleh teman-teman. Tidak sekedar ketika malam hari, bahkan saat siang atau sore. Disaat kemungkinan mahluk gaib itu tidak bisa muncul.
Di lantai atas yang tak berpenghuni itu, kami kerap kali penasaran. Siapa yang beberapa waktu lalu berjalan. Dari balkon atas di bagian depan, kami kerap kali mengintip dari pintu yang didominasi kaca itu. Isinya? Kosong melempom. Kalau tak salah ingat, ada satu bilik yang terbuat dari jerami. Sementara lantai papannya kotor berdebut. Pelataran atau balkon atas, memang menjadi tempat duduk favorit. Tapi ada batasan waktunya. Hanya sepulang sekolah siang jelang sore. Tapi saat magrib atau malam tiba, tak ada yang berani lagi ke sana.
Bersambung Kisah Selanjutnya....
Comments